Translate

Kamis, 22 April 2010

Taqwa

Allah swt. berfirman:
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. (Q.s. Al Hujurat: 13).

Diriwayatkan oleh Abu Sa'id al Khudry, bahwa seseorang menghadap Nabi saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, nasihatilah saya!" Beliau menjawab:

"Engkau harus mempunyai ketaqwaan kepada Allah, karena ketaqwaan adalah kumpulan seluruh kebaikan. Engkau harus melaksanakan jihad, karena jihad adalah kerahiban kaum Muslim. Dan engkau harus dzikir kepada Allah, karena dzikir adalah cahaya bagimu." (H.r. Ibnu Dharies, dari Abu Said).
Anas r.a. meriwayatkan, seseorang bertanya kepada Rasulullah saw, "Siapakah keluarga Muhammad? "Beliau menjawab, "Setiap orang yang taqwa."

Taqwa merupakan kumpulan seluruh kebaikan, dan hakikatnya adalah seseorang melindungi dirinya dari hukuman Tuhan dengan ketundukan kepada Nya. Asal usul taqwa adalah menjaga dari syirik, dosa dan kejahatan, dan hal hal yang meragukan (syubhat), serta kemudian meninggalkan hal-hal utama (yang menyenangkan).

Menurut Syeikh Abu Ali ad Daqqaq r.a, masing masing bagian tersebut memiliki bab tersendiri. Dan dinyatakan di dalam tafsir mengenai firmanAllah swt, "Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar benar taqwa kepada Nya." (Q.s. Ali Imran: 102), ayat ini mempunyai makna bahwa Dia harus dipatuhi dan tidak ditentang, diingat dan tidak dilupakan, dan bahwa kita harus bersyukur kepada Nya dan tidak mengufuri Nya.

Sahl bin Abdullah menegaskan, "Tiada penolong sejati selain Allah: tidak satu pun pembimbing yang sebenarnya selain Utusan Allah; tak satu pun perbekalan yang mencukupi selain taqwa, dan tidak satupun amal yang lenggeng keteguhannya selain bersabar."

Al Kattany berkata, "Dunia dibagi secara adil sesuai dengan cobaan, dan akhirat dibagi secara adil sesuai dengan taqwa."
Al Jurairy mengatakan, "Orangyang belum menjadikan taqwa dan muraqabah sebagai hakim, antara dirinya dan Tuhan tidak akan memperoleh mukasyafah dan musyahadah."

An Nashr Abadzy menjelaskan, "Taqwa adalah bahwa hamba waspada terhadap segala sesuatu selain Allah swt. Barangsiapa menginginkan taqwa yang sempurna, hendaknya menghindari setiap dosa. Siapa pun yang teguh dalam taqwa akan merindukan perpisahan dengan dunia, karena Allah swt. berfirman, "Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?" (Q.s. Al An'am: 32).
Sebagian Sufi berkata, "Tuhan menjadikan berpaling dari dunia dengan mudah bagi orang yang benar benar bertaqwa." Abu Abdullah ar Rudzbary mengatakan, "Taqwa adalah menghindarkan diri dari segala sesuatu yang menjadikan diri jauh dari Allah swt."

Dzun Nuun al Mishry mengatakan, "Orang yang bertaqwa kepada Allah adalah orang yang tidak menodai aspek lahiriah dirinya dengan sikap keras kepala, tidak pula aspek batiniahnya dengan alamat-alamat keruhanian. la berdiri di sisi Allah dalam keadaan selaras."
Abul Hasan al Farisy berkata, "Taqwa mempunyai dimensi lahir dan batin. Dimensi lahir adalah pelaksanaan syariat, dan aspek batinnya adalah niat dan mujahadah."
Dzun Nuun membacakan baris baris sajak berikut:

Tak ada kehidupan
selain bersama mereka
yanq hatinya mendambakan taqwa
dan yarig istirah dalam dzikir
Tentram dalam ruh keyakinan,
Seperti anak menyusu di pangkuan ibunya.

Dikatakan, "Taqwa seseorang ditandai oleh tiga sikap yang baik: Tawakkal terhadap apa yang belum dianugerahkan, berpuas diri dengan apa yang telah dianugerahkan, menghadapi milik yang hilang."
Thalq bin Habib menjelaskan, "Taqwa adalah bertindak sesuai sesuai dengan cahaya Allah swt."
Abu Hafs mengatakan, "taqwa adalah sikap seseorang membatasi dirinya terhadap hal-hal yang jelas diperbolehkan, hanya itu."
Abu Husyan az Zanjany mengatakan, "Barangsiapa yang modal hartanya adalah taqwa, ia akan lelah menghitung labanya."
Al Wasithy menegaskan, "Taqwa adalah sikap seseorang menjauhi ketaqwaannya; artinya, menghindari kesadaran akan taqwa. Contoh orang yang bertaqwa adalah Ibnu Sirin. Suatu saat Ibnu Sirin membeli empat puluh kaleng mentega. Ketika salah seorang pembantunya menyingkirkan seekor tikus dari salah satu gucinya, Ibnu Sirin bertanya kepadanya, 'Guci mana yang darinya tikus itu kamu singkirkan? Ia menjawab, 'Saya tidak tahu!' Selanjutnya Ibnu Sirin memutuskan mengosongkan semua guci dengan menuang seluruh mentega ke atas tanah. Contoh orang saleh adalah Abu Yazid al-Bisthamy.

Pada suatu hari ia membeli kunyit jingga di Hamadhan. la menjumpai hanya sedikit kunyit jingga, dan ketika kembali ke Bistham, ditemukannya dua ekor semut di kunyit tersebut. Maka, ia kembali ke Hamadhan dan melepaskan. kedua semut itu."
Abu Hanifah tidak pernah mau berteduh di bawah kerindangan pohon milik orang yang berhutang kepadanya. Ia menjelaskan, "Sebuah hadis menyatakan:
"Setiap hutang yang pengembaliannya disertai kelebihan adalah riba."
(Riwayat al-Ajluni, namun as Suyuthy menganggap hadis ini dha'if).

Abu Yazid sedang mencuci jubahnya di luar kota bersama seorang sahabat, ketika sahabatnya berkata, "Kita jemur jubah di dinding pagar kebun buah itu." Abu Yazid menjawab, "Jangan menancapkan paku di dinding orang!" Sahabatnya menyarankan, "Jemur saja di atas pohon. " Abu Yazid menjawab, "Aku khawatir ia akan menyebabkan cabang-cabangnya patah." la berkata, "Bentangkanlah ia di Atas rerumputan!" Abu Yazid menjawab, "Rerumputan itu makanan hewan ternak. Jangan kita menutupinya dengan jubah ini!" Selanjutnya, ia menghadapkan punggungnya ke arah matahari dan meletakkan jubah di atas punggungnya hingga satu sisi jubahnya mengering, lantas membalik sisi yang lain hingga mengering pula.

Dikisahkan, pada suatu hari Abu Yazid memasuki masjid dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Tongkat itu roboh dan menimpa tongkat seseorang yang berusia lanjut, yang juga menancapkannya di tanah, dan menyebabkan tongkat orang tua tersebut roboh. Orang tua itu membungkuk, lalu mengambil tongkatnya. Abu Yazid pergi ke rumah orang tua tersebut dan meminta maaf kepadanya, dengan mengatakan, "Anda tentu merasa terganggu disebabkan oleh kelalaian saya, ketika Anda terpaksa membungkuk."

Utbah al Ghulam tampak bercucuran keringat di musim dingin. Ketika orang orang di sekitarnya menanyakan hal itu kepadanya, ia memberikan penjelasan, "Ini adalah tempat di mana aku telah bermaksiat kepada Allah swt." Ketika diminta memberikan penjelasan lebih jauh, ia mengatakan, "Aku mengambil sebongkah lempung dari dinding ini, supaya tamuku dapat membersihkan tangan dengannya, tetapi aku tidak meminta izin terlebih dulu kepada pemilik dinding ini.

Ibrahim bin Adham berkata, "Pada suatu malam aku mengisi waktu di bawah kubah Masjid Kubah Batu Karang di Baitul Maqdis. Di tengah malam sepi turun dua malaikat. Malaikat pertama bertanya kepada sahabatnya, 'Siapakah orang yang berdiam di sini?' Sahabatnya menjawab, 'Ibrahim bin Adham.' Malaikat pertama itu berkata, 'Inilah orang yang derajatnya telah diturunkan Allah swt. satu tingkat.' Maka, malaikat kedua bertanya, 'Mengapa?' Ia menjawab, 'Karena ketika ia membeli sedikit kurma di Bashrah, sebutir kurma bercampur menjadi satu dengan kurma yang dibelinya, ia tidak mengembalikan kepada pemiliknya'."

Kemudian Ibrahim melaporkan, "Aku berangkat ke Bashrah, membeli kurma dari orang tersebut, dan menjatuhkan sebutir kurma ke dalam kurma-kurma miliknya. Aku kembali ke Yerusalem dan mengisi malam hariku di Masjid Kubah Batu Karang. Ketika sebagian malam berlalu, aku melihat dua malaikat turun dari langit, dan malaikat yang satu bertanya kepada sahabatnya, 'Siapakah orang. yang berdiam di sini?' Sahabatnya menjawab, 'Ibrahim bin Adham.' Malaikat yang bertanya itu berkata lagi, 'Ini adalah orang yang telah dikembalikan, dan dinaikkan derajatnya oleh Allah swt.'

Dikatakan bahwa taqwa mempunyai bermacam macam aspek; bagi kaum awam taqwa adalah menghindari syirik, bagi kaum terpilih (khawash) adalah menghindari dosa dosa, bagi para auliya' adalah menghindari ketergantungan pada amal, dan bagi para Nabi menghindari menisbatkan amal kepada selain Allah swt. Sebab taqwa mereka datang dari-Nya dan kembali kepada Nya. Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a. berkata, "Kaum termulia di dunia adalah kaum dermawan, dan yang paling mulia di akhirat adalah kaum yang taqwa."
Diriwayatkan oleh Abu Umamah, bahwa Nabi saw. menegaskan:
"Apabila seseorang menatap kecantikan seorang wanita dan kemudian menundukkan matanya setelah tatapan pertama, maka Allah menjadikan tindakannya itu suatu ibadat yang rasa manisnya dirasakan oleh hati orang yang melakukannya."””””””””” (H.r. Ahmad dalam Musnad nya).

Al Junayd sedang duduk duduk bersama Ruwaym, Al Jurairy dan Ibnu Atha'. Al Junayd berkata, "Seseorang tidak akan selamat kecuali bila berlindung secara ikhlas kepada Allah." Allah swt. berfirman, "Dan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta (berjihad), hingga ketika bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (Q.s. At Taubah: 118).

Allah swt. berfirman:
"Dan Allah menyelamatkan orang orang yang bertaqwa karena kemenangan mereka-mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan tidak pula) mereka berduka cita." (Q.s. Az Zumar: 61).
Al Jurairy berkata, "Seseorang akan selamat hanya dengan tekun beribadat. Allah swt. berfirman, "... (yaitu) orang orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian." (Q.s. Ar Ra'ad: 20).
Ibnu Atha' menegaskan, "Seseorang tidak akan selamat kecuali dengan sikap malunya di hadapan Allah swt." Allah swt. berfirman, "Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?" (Q.s. Al 'Alaq: 14).
"Bahwasanya orang orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka." (Q.s. Al Anbiya': 101).

Dikatakan, seseorang tidak akan selamat kecuali dengan pilihan yang telah ditetapkan atas dirinya. Allah swt. berfirman, "Dan Kami telah memilih meraka (untuk menjadi Nabi nabi dan Rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka kejalan yang lurus." (Q.s. AI Am'am: 87)

Rabu, 21 April 2010

Zuhud


Nabi saw. bersabda:
"Apabila kamu sekalian melihat seseorang yang telah dianugerahi zuhud berkenaan dengan dunia dan ucapan, maka dekatilah ia, karena ia dibimbing oleh hikmah." (H.r. Abu Khallad dan di-takhrij oleh Abu Nu'aim dan Baihaqi).

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Pada umumnya banyak orang berbeda pendapat berkenaan dengan zuhud. Sementara orang ada yang mengatakan, 'Zuhud bersangkutan dengan perkara yang haram saja, sebab perkara yang halal diterima Allah swt. Apabila Allah swt. memberikan berkat kepada hamba Nya berupa harta yang halal dan hamba itu bersyukur kepada Nya atas berkat itu, maka ia meninggalkan menurut upayanya, tanpa harus mengajukan hak izin untuk mengekangnya.’
Sebagian yang lain mengatakan, 'Zuhud terhadap perkara yang haram adalah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap perkara yang halal adalah suatu keutamaan. Apabila hamba Yang berzuhud miskin, tetapi sabar terhadap keadaannya, bersyukur serta merasa puas atas segala sesuatu yang telah dianugerahkan Allah swt. kepadanya, maka hal itu lebih baik ketimbang berusaha menimbun kekayaan berlimpah di dunia'."
Allah swt. telah menghimbau ummat manusia untuk bersikap zuhud berkenaan dengan perolehan kekayaan, melalui firmanNya:
"Katakanlah, 'Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang orang yang bertaqwa'." (Q.s. An Nisa': 77).

Banyak ayat lainnya yang dapat dijumpai berkenaan dengan tidak berharganya dunia dan seruan untuk bersikap zuhud terhadapnya.
Sebagian orang yang mengatakan, "Apabila seorang hamba membelanjakan harta dalam ketaatan kepada Allah swt, bersabar, dan tidak mengajukan keberatan terhadap larangan-larangan syariat untuk dilakukannya dalam menghadapi kesulitan hidup, maka adalah lebih baik baginya bersikap zuhud terhadap harta yang dihalalkan."
Sebagian yang lain berkomentar, "Seyogyanya bagi seorang hamba memutuskan untuk tidak memilih meninggalkan yang halal dengan bebannya, dan tidak pula berusaha memenuhi keperluan-keperluannya secara berlebihan, karena menyadari atas rezeki yang diberikan oleh Allah swt. Apabila Allah swt. menganugerahkan kepadanya harta yang halal, ia harus bersyukur kepada Nya. Apabila Allah swt. menentukan dirinya berada pada batas kecukupan hidup, maka hendaknya tidak memaksakan diri mencari kemewahan, karena kesabaran merupakan sesuatu yang paling utama bagi pemilik harta yang halal."

Sufyan ats-Tsaury berkata, "Zuhud terhadap dunia adalah membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya memakan makanan kasar atau mengenakan jubah dari kain kasar."
Sary as-Saqathy menegaskan, "Allah swt. menjauhkan dunia dari para auliya' Nya, menjauhkannya dari makhluk makhluk Nya yang berhati suci, dan menjauhkannya dari hati mereka yang dicintai Nya lantaran Dia tidak memperuntukkannya bagi mereka."

Zuhud disinggung secara tidak langsung di dalam firman Nya, "(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang 1uput dari kamu, dan supaya kamu jangan terIalu gembira terhadap apa yang diberikan Nya kepadamu." (Q.s. Al-Hadid: 23), sebab sang hamba tidaklah gembira atas apa yang dimilikinya di dunia, dan tidak pula bersedih atas apa yang tiada dimilikinya.

Abu Utsman berkata, "Zuhud adalah hendaknya Anda meninggalkan dunia dan kemudian tidak peduli dengan mereka yang mengambilnya."
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Zuhud adalah hendaknya Anda meninggalkan dunia sebagaimana adanya ia, bukan berkata, Aku akan membangun pondok Sufi (ribath) atau mendirikan masjid."
Yahya bin Mu'adz mengatakan, "Zuhud menyebabkan kedermawanan berkenaan dengan hak milik, dan cinta yang mengantarkan, pada semangat kedermawanan."
Ibnul jalla' berkomentar, "Zuhud adalah sikap Anda memandang dunia ini hina di mata Anda, maka berpaling darinya akan menjadi mudah bagi diri Anda."

Ibnu Khafif berkata, "Pertanda zuhud adalah adanya sikap tenang ketika berpisah dari harta milik." Dikatakannya pula, "Zuhud adalah ketidak-senangan jiwa pada dunia, dan melepaskan urusan hak milik itu."
An-Nashr Abadzy berkata, "Orang zuhud selalu asing di dunia, dan seorang ahli ma'rifat ('arif) adalah orang asing di akhirat."

Dikatakan, "Bagi orang yang benar benar bersikap zuhud, dunia akan menyerahkan diri kepadanya dengan penuh kerendahan dan kehinaan." Oleh sebab itu, dikatakan, "Apabila sebuah topi jatuh dari langit, ia akan jatuh di atas kepala seseorang yang tidak menghendakinya."
Al-Junayd mengajarkan, "Zuhud adalah kekosongan hati dari sesuatu yang tangan tidak memilikinya."

Ulama salaf berbeda pandangan soal zuhud. Sufyan ats-Tsaury, Ahmad bin Hanbal, Isa bin Yunus dan lain-lainnya menegaskan, bahwa zuhud di dunia berarti membatasi angan-angan dan keinginan. Ungkapan ini sebagaimana mereka tegaskan, cenderung dipahami sebagai faktor-faktor sebab zuhud, sekaligus sebagai faktor pembangkit zuhud dan makna esensial yang mencakup disiplin zuhud itu sendiri.

Abdullah ibnul Mubarak berkomentar, "Zuhud adalah tawakkal kepada Allah swt. dipadu dengan kecintaan kepada kefakiran."
Syaqiq al-Balkhy dan Yusuf bin Asbati juga mengatakan demikian. Jadi, ini juga merupakan satu dari tanda tanda zuhud, lantaran si hamba tidak mampu merelakan dunia kecuali dengan tawakal kepada Allah swt.
Abdul Wahid bin Zaid memberikan penjelasan, "Zuhud adalah menjauhkan diri dari dinar dan dirham."

Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan, "Zuhud adalah menjauhkan diri dari apa pun yang memalingkan Anda dari Allah swt.
Ketika al-Junayd bertanya tentang zuhud, Ruwaym menjawab, 'Zuhud adalah meremehkan dunia dan menghapus bekas bekasnya dari hati."
As-Sary berkata, "Kehidupan seorang zahid tidak akan baik apabila dirinya terpalingkan dari kepedulian terhadap jiwanya, dan kehidupan seorang 'arif tidak akan baik apabila terlalu mementingkan jiwanya."
Al-Junayd berkata, "Zuhud adalah mengosongkan tangan dari harta dan mengosongkan hati dari kelatahan."

Ditanya tentang zuhud, asy-Syibly menjawab, "Zuhud adalah hendaknya Anda menjauhkan diri dari segala sesuatu selain Allah swt."
Yahya bin Mu'adz berkata, "Tidak akan sempurna zuhud seseorang, kecuali memiliki tiga karakter ini: Berbuat tanpa disertai keterikatan, berbicara tanpa disertai ambisi, dan kemuliaan tanpa adanya kekuasaan atas orang lain."

Abu Hafs mengatakan, "Tidak ada zuhud kecuali dalam perkara yang halal, dan di dunia ini tiada yang halal, karenanya tiada pula zuhud."
Abu Utsman berkata, "Allah swt. memberi seorang zahid sesuatu lebih daripada sekadar yang diinginkannya, dan Dia memberikan sesuatu kepada hamba yang dicintai Nya kurang dari yang ia inginkan. Dia memberi hamba yang mustaqim sesuai yang diinginkannya."
Yahya bin Mu'adz berkata, "Orang zuhud adalah yang mengusik hidung Anda dengan bau cuka, tetapi kaum 'arif menyebarkan keharuman minyak kasturi."
Hasan al-Bashry berkata, "Zuhud di dunia, hendaknya Anda membenci muatan dan pendukungnya."
Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry, "Kapan saya dapat menjauhkan diri dari dunia?" Dzun Nuun menjawab, "Ketika Anda menjauhkan diri dari nafsu."
Muhammad ibnul Fadhl mengatakan, "Sikap memprioritaskan orang lain bagi kaum zuhud adalah pada waktu mereka berkecukupan, sedangkan kaum ksatria adalah pada waktu sangat membutuhkan."
Allah swt. berfirman:
"Dan mereka mengutamakan (orang orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan." (Q.s. AI Hasyr: 9).

Al-Kattany mengatakan, "Sesuatu yang tidak ditentang oleh orang Kufah, tidak oleh orang Madinah, orang Irak, juga tidak oleh orang Syria, adalah zuhud terhadap dunia, kedermawanan dan berdoa supaya ummat manusia mendapatkan kebaikan." Artinya, tidak seorang pun yang mengatakan bahwa hal hal ini tidak terpuji.

Seseorang bertanya kepada Yahya bin Mu'adz, "Bilakah saya akan memasuki kedai tawakal, mengenakan jubah zuhud dan duduk dalam majelis bersama kaum zuhud?" Yahya menjawab, "Ketika Anda tiba pada suatu keadaan dalam olah ruhani (riyadhah) dalam diri Anda secara rahasia, sehingga sampai pada batas ketika Allah memutuskan rezeki kepada Anda selama tiga hari tidak merasakan lemah. Tetapi, apabila tujuan ini tidak tercapai, maka duduk di atas karpet kaum zuhud hanyalah kebodohan, dan saya tidak dapat menjamin bahwa diri Anda tidak akan terhinakan di tengah tengah mereka."

Bisyr al-Hafi menegaskan, "Zuhud adalah seorang raja yang tidak menempati suatu tempat selain hati yang kosong."
Muhammad ibnul Asy'ats al-Bikandy berkata, "Barangsiapa berbicara tentang zuhud dan menyeru manusia kepada zuhud disamping juga menginginkan sesuatu yang mereka miliki, maka Allah swt. akan melepaskan kecintaan pada akhirat dari hatinya."
Dikatakan, "Manakala seorang hamba menjauhkan diri dari dunia, maka Allah swt. mempercayakan dirinya kepada malaikat yang menanamkan kebijaksanaan didalam hatinya."
Seorang Sufi ditanya, "Mengapa Anda menolak dunia?" la menjawab, "Karena ia telah menolakku."

Ahmad bin Hanbal memberikan penjelasan, "Ada tiga macam zuhud: Bersumpah menjauhi perkara yang haram adalah zuhud kaum awam, bersumpah menjauhi sikap berlebih lebihan dalam perkara yang halal adalah zuhud kaum terpilih (khawash), dan bersumpah menjauhi apa pun yang, memalingkan sang hamba dari Allah swt. adalah zuhud kaum'arifin."
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, "Salah seorang Sufi ditanya, 'Mengapa Anda menolak dunia?' Dijawab sang Sufi, 'Karena aku menarik diri dari kemewahan dan menolak menginginkannya barang sedikit pun'."

Yahya bin Mu'adz berkata, "Dunia ini bagaikan pengantin wanita. Orang yang mencarinya akan membelai rambutnya penuh kelembutan. Sedang bagi si zahid, di dalamnya akan tampak kusam, mengacak acak rambutnya, dan membakar gaunnya. Kaum 'arlfin, senantiasa sibuk dengan Allah swt, tidak sedikit pun menoleh pada dunia."
As-Sary berkata, 'Aku melaksanakan seluruh aturan zuhud dan dianugerahi segala sesuatu yang kuminta dalam doa, kecuali zuhud terhadap masyarakat. Aku belum mencapai ini, dan aku pun belum sanggup menanggungnya."

Dikatakan, "Kaum zuhud telah mengucilkan diri dan berkumpul hanya dengan sesama mereka saja, sebab mereka menjauhi nikmat nikmat sementara, demi nikmat nikmat yang abadi."
An-Nashr Abadzy berkomentar, "Zuhud adalah memelihara darah kaum Zahidin dan menumpahkan darah kaum Arifin."
Hatim al-Asham mengatakan, "Kaum zuhud menghabiskan isi dompetnya sebelum dirinya, dan orang yang berperilaku zuhud menghabiskan dirinya sebelum dompetnya."

AI-Fudhail bin 'Iyad berkata, 'Allah swt. menempatkan seluruh kejahatan dalam satu rumah dan menjadikan kecintaan kepada dunia sebagai kuncinya. Dia menempatkan seluruh kebaikan di rumah yang lain dan dan menjadikan zuhud sebagai kuncinya."

Wara’


Dinwayatkan oleh Abu Dzar al Ghiffary, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjauhi segala sesuatu yang tidak berarti.” (H.r. Malik bin Anas, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Wara' adalah meninggalkan apa pun yang syubhat." Demikian pula, Ibrahim bin Adham memberikan penjelasan, “Wara' adalah meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun yang berlebihan."
Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. berkata, "Kami dahulu tujuh puluh perkara yang termasuk ke dalam hal-hal yang dihalalkan, karena khawatir terjerumus ke dalam satu hal yang haram."

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, bahwa Nabi saw. bersabda:
"Bersikaplah wara', dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadat di antara ummat manusia." (H.r. Ibnu Majah, Thabrani dan Baihaqi).
As-Sary berkata, "Terdapat empat orang yang wara' di zaman mereka: Hudzaifah al-Murta'isy, Yusuf bin Asbat, Ibrahim bin Adham dan Sulaiman al-Khawwas. Mereka bersikap wara', dan apabila usaha untuk mendapatkan sesuatu yang halal begitu sulit bagi mereka, mereka mencarinya seminimal mungkin."
Asy-Syibly berkomentar, "Wara' adalah sikap menjauhi segala sesuatu selain Allah swt."

Ishaq bin Khalaf mengatakan, "Wara' dalam bicara lebih sulit ketimbang menjauhi emas dan perak, dan zuhud dari kekuasaan lebih sulit ketimbang menyerahkan emas dan perak, karena Anda siap mengorbankan emas dan perak demi kekuasaan."
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan, "Wara' adalah titik tolak zuhud, sebagaimana sikap puas terhadap apa yang ada adalah bagian utama dari ridha. "
Abu Utsman mengatakan, "Pahala bagi wara' adalah kemudahan penghitungan amal di akhirat." Yahya bin Mu'adz berkata, "Wara' adalah berpangku pada batas ilmu tanpa menakwilkannya."

Dikatakan, "Sekeping uang logam kecil milik Abdullah bin Marwan jatuh ke dalam sebuah sumur yang berisi kotoran, lalu ia meminta bantuan seseorang untuk mengambilnya dengan membayarnya tigabelas dinar. Ketika seseorang bertanya kepadanya, ia memberikan penjelasan, 'Nama Allah swt. tertera pada uang itu'."

Yahya bin Mu'adz menegaskan, "Ada dua jenis wara': Wara' dalam pengertian dzahir, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada satu tindakan pun selain karena Allah swt, dan wara' dalam pengertian batin, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang memasuki hati Anda kecuali Allah swt."

Ia juga berkata, "Orang yang tidak memeriksa dan memahami seluk beluk wara' tidak akan mendapatkan anugerah."
Dikatakan, "Orang yang pandangannya atas agama jeli, akan memperoleh peringkat yang tinggi di Hari Kebangkitan."
Yunus bin Ubaid mengatakan, "Wara' berarti keluar dari segala syubhat, dan merefleksikan diri dalam setiap pandangan."
Sufyan ats-Tsaury berkomentar, "Aku belum pernah melihat sesuatu yang mudah selain wara'. Apa pun yang diinginkan oleh hawa nafsu Anda, tinggalkanlah!."
Ma'ruf al-Karkhy mengajarkan, "Jagalah lidah Anda dari pujian, sebagaimana Anda menjaganya dari cacian."

Bisyr ibnul Harits berkata, "Hal-hal paling sulit untuk dilaksanakan ada tiga: Dermawan di masa masa sulit, wara' adalah khalwat, dan menyampaikan kebenaran kepada seseorang yang Anda takuti dan Anda jadikan harapan."
Saudara wanita Bisyr al-Hafi mengunjuingi Ahmad bin Hanbal dan memberitahukan kepadanya, "Kami sedang memintal di atas atap rumah, ketika obor kaum Dzahiriyah berlalu dan cahayanya menyinari kami. Apakah diperbolehkan bagi kami memintal di dekat cahaya mereka?" Ahmad bertanya, "Siapakah Anda, (semoga Allah menjaga kesehatanAnda)?" Ia menjawab, "Saya adalah saudara wanita Bisyr al Hafi." Ahmad menangis, lalu berkata, Wara' yang jujur muncul dari keluarga Anda. Jangan memintal di dekat cahaya itu!"

Ali al-'Atthar berkata, "Suatu ketika aku sedang berjalan melewati Bashrah melintasi sebuah jalan, dan aku melihat beberapa orang syeikh sedang duduk, sementara beberapa pemuda bermain di dekatnya. Oleh karena itu, aku bertanya kepada mereka, 'Apakah Anda sekalian tidak malu bermain di depan Syeikh syeikh ini?' Salah seorang pemuda tersebut menjawab, 'Wara' para syeikh ini demikian kecil hingga kami memandang kecil mereka'."

Dikatakan, bahwa Malik bin Dinar tinggal di Bashrah selama empat puluh tahun, ia tidak pernah memakan kurma kering maupun yang masih segar dari kota tersebut. Sampai saat musim berlalu, ia berkata, "Wahai penduduk Bashrah, inilah perutku, tidak kurang juga tidak pernah bertambah!"
Seseorang bertanya kepada Ibrahim bin Adham, "Mengapa Anda tidak minum Zamzam?" Ia menjawab, "Apabila aku mempunyai timba, aku akan meminumnya." Apabila al-Harits al-Muhasiby mengambil makanan yang syubhat, maka urat di ujung jarinya berdenyut, dan ia menganggap bahwa makanan tersebut syubhat.

Suatu ketika Bisyr al-Hafi diundang ke jamuan makan, dan dihidangkan makanan di depannya. Ia hendak menyantap makanan itu, tetapi tangannya tidak dapat digerakkan. Ia berusaha menggeraknya hingga tiga kali. Seseorang yang akrab dengan situasi ini mengatakan, "Tangannya tidak pernah mengambil makanan yang syubhat. Percuma saja tuan mengundang syeikh ini."

Ketika Sahl bin Abdullah ditanya tentang halal yang murni, ia menjawab, "Yaitu yang di dalamnya tidak pernah dicampuri maksiat kepada Allah swt. Dan halal yang murni adalah yang Allah tidak dilupakan di dalamnya."

Hasan al-Bashry memasuki Mekkah, la melihat salah seorang keturunan Ali bin Abu Thalib r.a. bersandar ke Ka'bah dan berceramah di hadapan sekumpulan orang. Hasan bergegas menghampirinya, lalu bertanya, "Siapakah yang menguasai agama-agama?" Ia menjawab, "Orang wara'." Hasan bertanya lagi, "Apakah yang merusak agama." Ia menjawab, "Keserakahan." Maka Hasan mengaguminya, seraya berkata, "Bobot sebutir wara' yang cacat adalah lebih baik ketimbang bobot seribu hari berpuasa dan shalat."

Abu Hurairah mengatakan, "Sahabat sahabat dalam majelis Allah swt. di akhirat adalah orang orang yang wara' dan zuhud."
Sahl bin Abdullah berkata, "Apabila wara' tidak menyertai seseorang, la tidak akan pernah merasa kenyang, sekalipun diwajibkan baginya makan kepala gajah."

Sedikit minyak kasturi yang berasal dari rampasan perang dibawa ke hadapan Umar bin Abdul Aziz. Katanya, "Manfaat satu satunya adalah aroma keharumannya, dan aku tidak ingin hanya diriku sendiri yang mencium aromanya, sementara seluruh kaum Muslim tidak berbagi membauinya."
Ketika ditanya tentang wara', Abu Utsman al-Hiry berkata, "Abu Shalih Hamdun al-Qashshar berada bersama salah seorang sahabatnya yang sedang menjelang maut. Orang tersebut meninggal, dan Abu Shalih memadamkan lampu. Seseorang bertanya kepadanya tentang hal ini, lalu ia mengatakan, "Sampai sekarang minyak yang di dalam lampu ini menjadi milik para ahli warisnya. Carilah minyak yang bukan miliknya!"

Hamisan berkata, 'Aku meratapi dosaku selama empat puluh tahun. Salah seorang saudara mengunjungiku, dan kubelikan sepotong ikan rebus untuknya. Ketika ia selesai memakannya, aku mengambil sebongkah lempung dinding milik tetanggaku, sampai ia dapat membersihkan tangannya, dan aku belum meminta halalnya."

Seseorang sedang menulis suatu catatan saat ia tinggal di sebuah rumah sewa dan ingin mengeringkan tulisannya dengan debu yang dapat diperoleh dari dinding rumah tersebut. Ia teringat bahwa rumah yang ditempatinya adalah rumah sewa, akan tetapi ia berpendapat bahwa hal itu tidaklah penting. Karenanya, ia pun mengeringkan tulisan tersebut dengan debu. Kemudian ia mendengar sebuah suara mengatakan, "Orang meremehkan debu akan melihat betapa lama perhitungan amalnya kelak."

Ahmad bin Hanbal (semoga Allah melimpahkan kasih-sayang kepadanya) menggadaikan sebuah ember kepada seorang penjual bahan makanan di Mekkah. Ketika ingin menebusnya, penjual bahan makanan tersebut mengeluarkan dua ember, sembari mengatakan, "Ambillah, yang mana ember milik Anda?" Ahmad menjawab, "Saya ragu. Oleh karena itu, simpan saja, baik kedua ember maupun uang itu untuk Anda!" Penjual bahan makanan tersebut memberitahu, "Inilah ember Anda. Saya hanya ingin menguji Anda." Ahmad menyahut, "Saya tidak akan mengambilnya," lalu pergi, dengan meninggalkan ember kepunyaannya kepada si penjual bahan makanan.

Sayyab Ibnul Mubarak membiarkan kudanya yang mahal berkeliaran dengan bebas ketika ia sedang melakukan shalat dzuhur. Kuda tersebut merumput di ladang milik kepala desa. Akhirnya, Ibnul Mubarak meninggalkan kuda tersebut dengan tidak mengendarainya. Dikatakan bahwa Ibnul Mubarak suatu ketika pergi pulang dari Marw ke Syria, gara-gara telah meminjam sebuah pena dan lupa mengembalikannya.

An-Nakha'y menyewa seekor kuda. Ketika cambuknya terlepas dari tangan dan jatuh, ia pun turun, seraya mengikat kudanya, dan berjalan untuk memungut cambuk itu. Seseorang berkomentar, "Akan lebih mudah seandainya Anda mengendalikan kuda Anda menuju tempat di mana cambuk itu jatuh dan kemudian mengambilnya." An-Nakha'y menyahut, "Aku menyewa kuda itu untuk pergi ke arah sana, bukan ke sini."

Abu Bakr ad-Daqqaq berkata, "Aku berkelana di padang belantara bani Israil selama limabelas hari, dan ketika tiba di sebuah jalan, seorang prajurit menemuiku dan memberi seteguk air minum. Air itu menumbuhkan penderitaan dalam hatiku, dan aku menderita selama tigapuluh tahun."
Rabi'ah al-Adawiyah menjahit bajunya yang sobek di dekat lampu sultan, tiba tiba ia tersentak dan kemudian sadar. Maka, Rabi'ah pun menyobek pakaiannya, dan menemukan hatinya.

Sufyan ats Tsaury suatu ketika bermimpi mempunyai sepasang sayap yang dapat digunakan untuk terbang di surga. Kemudian ia ditanya, "Dengan apa hingga Anda dianugerahi ini?" Dijawabnya, "Wara'. "
Ketika Hissan bin Abi Sinan menghampiri murid murid al-Hasan, ia bertanya, "Hal apakah yang paling sulit bagi Anda?" Mereka menjawab, "Wara'." Ia berkata, "Tidak ada sesuatu yang paling mudah bagiku selain ini (wara')." Mereka bertanya, "Mengapa demikian?" Hissan bin Abi Sinan menanggapi, "Aku belum pernah minum air dari mata air milik Anda semua selama empatpuluh tahun."

Hissan bin Abi Sinan tidak tidur terlentang atau makan makanan berlemak atau minum air dingin selama enampuluh tahun. Seseorang bermimpi bertemu dengan Hissan bin Abi Sinan, lalu bertanya kepadanya tentang apa yang telah Allah lakukan atas dirinya. Dijelaskan oleh Hissan bin Abi Sinan, "Baik, kecuali bahwa pintu surga tertutup bagiku, karena jarum yang pernah kupinjam belum kukembalikan."

Abdul Wahid bin Zaid mempunyai seorang pembantu rumah tangga yang bekerja kepadanya selama bertahun tahun dan beribadat secara khusyu' selama empatpuluh tahun. Sebelumnya ia adalah seorang penimbang gandum. Dan ketika ia meninggal, seseorang bermimpi bertemu dengannya. Ditanya tentang apa yang telah Allah lakukan atas dirinya? Dijawabnya, "Baik, kecuali bahwa aku dihalang, memasuki pintu. surga, disebabkan oleh debu pada timbangan gandum yang dengannya aku menimbang empatpuluh porsi gandum."

Ketika Isa putra Maryam as. melewati sebuah makam, seseorang berteriak dari dalam kuburnya. Allah swt. menghidupkannya kembali, dan Isa bertanya kepadanya, "Siapakah Anda?" Ia menjawab, "Aku adalah seorang kuli, dan pada suatu hari, saat aku mengantarkan kayu bakar untuk seseorang, aku mematahkan sepotong kayu kecil. Sejak aku meninggal, aku dianggap bertanggungjawab atas hal itu."

Abu Sa'id al-Kharraz berbicara tentang wara', ketika Abbas bin al-Muhtadi berlalu di hadapannya. Ia bertanya, "Wahai Abu Sa'id, apakah Anda tidak mempunyai rasa malu? Anda duduk di bawah atap Abu ad-Dawaniq, minum dari penampungan air Zubaydah, berniaga dengan riba, tetapi berbicara tentang wara

Sedih

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman:
"Dan mereka akan mengatakan (ketika berada di surga), 'Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kita'." (Q.s. Fathir: 34).

Diriwayatkan darl Abu Sa'id al Khudry bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Tidak sesuatu pun keburukan menimpa seorang hamba yang beriman, apakah itu penderitaan, penyakit, kesedihan, atau rasa sakit yang merisaukannya, kecuali Allah swt. akan mengampuni dosa-dosanya." (H.r. Ahmad, Bukhari Muslim).

Sedih (huzn) adalah keadaan yang menyelamatkan hati tersesat lembah kealpaan. Dan kesedihan adalah salah satu sifat para ahli penempuh jalan ruhani (suluk).

Syeikh Abu Ali ad Daqqaq r.a. berkata, "Orang yang dipenuhi kesedihan mampu menempuh jalan Allah dalam waktu satu bulan, sepanjang jarak yang tidak bisa ditempuh dalam waktu satu tahun oleh orang yang tidak memiliki kesedihan."
Dalam hadis dikatakan, "Sesungguhnya Allah mencintai setiap hati yang sedih."
Dalarn Kitab Taurat disebutkan, "Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menempatkan suatu penyedih dalam hatinya, dan jika Dia membenci seorang hamba, maka ditempatkan Nya sebuah seruling dalam hatinya."

Dikatakan bahwa Rasulullah saw. selalu berada dalam keadaan sedih dan merenung sepanjang masa.
Bisyr bin Harits mengatakan, "Sedih adalah raja, Manakala dalam sebuah tempat, tidak akan sudi menerima orang lain tinggal bersamanya. "
Dikatakan, "Jika tidak ada kesedihan dalam hati, maka ia akan menjadi rusak, sebagaimana sebuah rumah akan menjadi roboh manakala tidak ada orang yang tinggal di dalamnya."
Abu Sa'id al Qurasyi berkomentar, "Air mata kesedihan membuat orang buta, tetapi air mata kerinduan meredupkan pandangan, namun tidak membutakannya.

Allah swt. berfirman, “Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan ia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya)”. (Q.s Yusuf:84).
Ibnu Khafif menjelaskan, "Sedih adalah mencegah diri dari bangkit mencari kesenangan."
Rabi'ah al Adawiyah mendengar seorang laki-Iaki meratap, "Aduhai, kesedihan!" Rabi'ah menyela, "Katakanlah, kesedihan kita!” Jika engkau benar benar bersedih, niscaya engkau tidak akan bisa bernafas."
Sufyan bin 'Uyainah mengatakan, "Apabila ada seorang tertimpa kesedihan dan menangis di kalangan suatu kaum, maka Allah swt. akan mengasihani mereka semua karena air matanya."

Dawud ath-Tha'y ketika tertimpa kesedihan, dan di malam hari ia akan berdoa, "Ilahi, kerinduanku terhadap Mu membuat diriku gelisah dan menghalangi antaraku dengan tidurku." Dan Allah pun menjawab, "Bagaimana mungkin bagi seorang yang penderitaannya diperbarui setiap saat, akan mencari penghiburan dari kesedihan?"
Dikatakan, "Sedih menahan orang dari makan, sedangkan takut, menahannya dari dosa."
Salah seorang Sufi ditanya, "Dengan apa kesedihan manusia dinilai?" Ia Menjawab, "Dengan banyaknya ratapan."

As Sary as-Saqathy berkata, "Aku ingin sendainya kesedihan seluruh manusia di Muka bumi ini ditimpakan kepadaku." Banyak orang telah berbicara tentang kesedihan, dan mereka semua mengatakan bahwa hanya kesedihan yang diilhami oleh kepedulian akhiratlah yang patut dipuji,

sedang kesedihan karena dunia ini patut dicela. Tetapi Abu Utsman al-Hiry menjelaskan, "Kesedihan dalam semua seginya adalah suatu keutamaan dan peningkatan bagi seorang beriman, selama kesedihan itu bukan karena dosa. Sekalipun kesedihan itu tidak menghasilkan satu derajat khusus, ia akan membawakan pengampunan."

Seorang syeikh tertentu, apabila murid-muridnya akan pergi melakukan perjalanan, ia akan berpesan, "Jika engkau melihat seorang yang sedang bersedih, sampaikanlah salamku kepadanya!".
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Salah seorang Sufi bertanya kepada matahari selagi terbenam, Apakah hari ini engkau telah menyinari seorang yang tertimpa kesedihan'?"
Orang tidak pernah melihat Hasan al-Bashry tanpa mengira bahwa ia baru saja mengalami bencana.
Ketika Fudhail bin 'Iyadh meninggal dunia, Waki' mengatakan, "Hari ini kesedihan telah lenyap dari muka bumi."

Salah seorang dari kaum Muslimin generasi salaf berkata, "Sebagian besar dari apa yang ditemukan oleh seorang beriman dalam catatan amal perbuatan baiknya adalah penderitaan dan kesedihan."
Fudhail bin 'Iyadh berkomentar, "Kaum salaf mengatakan, 'Setiap sesuatu ada zakatnya, dan zakat hati adalah kesedihan yang panjang'."
Ketika Abu Utsman al-Hiry ditanya tentang kesedihan, ia menjawab, "Orang yang sedih adalah yang tidak punya waktu untuk menyibukkan diri dengan pertanyaan tentang kesedihan. Maka berjuanglah untuk mencari kesedihan, lalu bertanyalah."

Diam

Syeikh Abul Qasim Al-Qusyairy

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah menghormati tamunya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (H.r Bukhari Musliln dan Abu Dawud).

Dari Abu Umamah, bahwasanya 'Uqbah bin Amir bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?"
Beliau menjawab, "Jagalah lidahmu, berpuaslah dengan rumahmu, dan menangislah untuk dosa dosamu. " (H.r. Tirmidzi).
Syeikh ad-Daqqaq berkata, "Diam mencerminkan rasa aman dan merupakan aturan yang mesti dilaksanakan; penyesalan akan mengikutinya apabila orang terpaksa mencegahnya. Seharusnya dalam diam, mempertimbangkan di dalamnya hukum syara', perintah-perintah dan larangan larangan harus dipatuhi di dalam sikap diam. Diam pada waktu yang tepat adalah termasuk sifat para tokoh. Begitupun bicara pada tempatnya merupakan karakter yang mulia."
Selanjutnya Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Barangsiapa menahan diri untuk mengucapkan kebenaran adalah setan yang bisu."
Diam adalah salah satu sikap yang layak dalam menghadiri majelis Sufi, karena Allah swt. berfirman, "Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat." (Q.s. AI ‘araf. 204). Dan Allah swt. menjelaskan pertemuan jin dengan Rasul saw. Firman Nya, "... maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, 'Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)'." (Q.s. Al Ahqaf 29).
Allah swt. berfirman, "... dan merendahlah semua suara kepada Tuhan yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja." (Q.s. Thaaha: 108).
Betapa besar perbedaan antara seorang hamba yang diam, menjaga dirinya dari kebohongan dan fitnah, dengan hamba yang diam karena takut kepada raja yang menakutkan. Mengenai makna pernyataan ini, dibacakan baris-baris syair berikut ini:



Aku merenung, apa yang akan kukatakan saat kita berpisah,
Dan terus menerus kusempurnakan ucapan hiba,
Tiba tiba kulupakan ketika kita berjumpa,
Dan, kalau toh aku bicara, kuucapkan kata kata hampa.
Para Sufi juga mendendangkan nada-nada ini:
Betapa banyak kata-kata yang ingin kucurahkan padamu,
Hingga ketika kesempatan bertemu denganmu,
Segalanya jadi kelu.

Juga baris berikut ini:
Kulihat bicara menghiasi oranq muda,
Sedang diam adalah paling baik bagi yang tenang.
Karenanya, betapa banyak huruf yang membawa maut,
Dan betapa banyak pembicara yang berangan
Seandainya ia bisa diam.

Ada dua jenis diam: Diam lahir dan diam batin. Hati orang yang tawakal adalah diam pada ketentuan rezeki yang diberikan. Sedang orang 'arif, hatinya diam untuk berhadapan dengan ketentuan melalui sifat keselarasan. Yang pertama adalah dengan senantiasa memperbagus perbuatannya secara kokoh, dan yang kedua, adalah merasa puas terhadap semua yang ditetapkan oleh Nya.

Alasan untuk diam boleh jadi merupakan ketakjuban yang disebabkan oleh pemahaman secara mendadak, lantaran apabila masalah tertentu tiba-tiba tampak jelas, maka kata-kata menjadi bisu dan tidak ada kefasihan maupun ucapan. Dalam situasi seperti ini, kesaksian terhapuskan dan tidak dijumpai baik pengetahuan maupun penginderaan. Allah swt. berfirman:
"(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan para Rasul lalu Allah bertanya (kepada mereka), Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)mu? 'Para Rasul menjawab, "Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu). "' (Q.s. Al Maidah: 109).

Prioritas dalam mujahadah adalah diam, sebab mereka mengetahui bahaya yang terkandung dalam kata-kata. Mereka juga menyadari bahaya nafsu berbicara, memamerkan sifat-sifat mengundang pujian manusia dan ambisi untuk meraih popularitas di kalangan sejawatnya karena keindahan tutur katanya. Mereka menyadari bahwa ini semua termasuk dalam kelemahan-kelemahan manusia. Ini merupakan gambaran orang yang terlibat dalam olah ruhani. Diam sebagai salah satu prinsip bagi aturan tahapan dan penyempurnaan akhlak.

Ketika Dawud ath-Tha'y berkeinginan tetap tinggal di rumah, ia memutuskan untuk menghadiri majelis Abu Hanifah, sebab ia adalah salah seorang muridnya. la duduk bersama ulama yang lain, dan tidak memberikan komentar berkenaan dengan masalah-masalah yang didiskusikan. Ketika jiwanya menjadi kuat dengan diam dan praktik diam yang dilakukan selama setahun, ia lalu tinggal di rumah dan memutuskan ber'uzlah.


Bisyr ibnul Harits mengajarkan, “Apabila berbicara menyenangkan Anda, diamlah. Apabila diam menyenangkan Anda, berbicaralah."
Sahl bin Abdullah menegaskan, "Diam seorang hamba tidak akan sempurna, kecuali sesudah ia memaksakan diam atas dirinya."
Abu Bakr al-Farisy mengatakan, "Apabila tanah kelahiran seorang hamba bukanlah diam, maka hamba tersebut akan berbicara berlebihan, meskipun tidak mempergunakan lidahnya. Diam tidak terbatas pada lidah, tetapi meliputi hati dan semua anggota badan."
Salah seorang Sufi berkata, "Orang yang tidak menggunakan diam ketika berbicara, adalah tolol."
Mumsyad ad-Dinawary berkata, "Orang-orang bijak mewarisi kebijaksanaan dengan diam dan kontemplasi."

Kekita Abu Bakr al-Farisy ditanya tentang diam sirri, dijawabnya, "Diam sirri adalah menjauhkan diri dari kepedihan terhadap masa lampau dan masa depan." Dikatakannya pula, "Apabila seorang hamba berbicara hanya mengenai sesuatu yang menyangkut kepentingannya, dan keharusan keharusan bicaranya, maka ia termasuk diam."
Mu'adz bin Jabal r.a. berkata, "Kurangilah berbicara berlebihan dengan sesama manusia dan perbanyaklah berbicara dengan Tuhanmu, mudah-mudahan hatimu akan (dapat) melihat Nya."
Dzun Nuun al-Mishry ditanya, "Di antara manusia, siapakah pelindung terbaik bagi hatinya?" Dijawab Dzun Nuun, "Yaitu orang yang paling mampu menguasai lidahnya. "
Ibnu Mas'ud berkata, "Tidak ada sesuatu pun yang patut diikat berlama lama lebih dari lidah."
Ali bin Bukkar mencatat, "Allah menjadikan dua pintu bagi segala sesuatu, tetapi Dia menjadikan empat pintu bagi lidah, yaitu dua bibir dan dua baris gigi."

Konon Abu Bakr ash Shiddiq r.a. biasa mengulum sebutir batu selama beberapa tahun dengan tujuan agar lebih sedikit berbicara.
Abu Hamzah al-Baghdady adalah seorang pembicara ulung. Pada suatu ketika sebuah suara menyeru kepadanya, "Engkau berbicara, dan bicaramu sangat bagus. Sekarang tinggallah bagimu untuk berdiarn, sehingga engkau menjadi bagus!" Akhirnya ia tidak pernah lagi berbicara sampal wafat menjemputnya.

Manakala asy-Syibly sedang duduk di tengah lingkaran murid-muridnya dan mereka tidak mengajukan pertanyaan, maka ia bermaksud akan mengatakan, "Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan kezaliman mereka, maka mereka tidak dapat berkata (apa apa)." (Q.s. An Naml: 85). Terkadang seseorang yang terbiasa berbicara menjadi diam, karena ada kaum Sufi yang lebih layak dari dirinya untuk berbicara.
Ibnus Sammak menuturkan, bahwa Syah al-Kirmany dan Yahya bin Mu'adz berteman, dan mereka tinggal di kota yang sama, tetap Syah tidak menghadiri majelisnya. Ketika ditanya alasannya, menjawab, "Sudah sepatutnya begini." Orang orang pun lantas mendesaknya terus hingga suatu hari al-Kirmany datang ke majells Yahya dan duduk di pojok di manaYahya tidak akan dapat melihatnya. Yahya pun mulai berbicara, namun secara tiba-tiba ia diam. Kemudian Yahya mengumumkan, 'Ada seseorang yang dapat berbicara lebih baik dariku," dan ia tidak mampu melanjutkan perkataannya itu. Maka al-Kirmany berkata, "Sudah kukatakan kepada Anda semua bahwa, adalah lebih baik jika aku tidak datang ke majelis ini."

Terkadang seorang pembicara memaksakan diri untuk diam karena keadaan tertentu yang ada pada salah seorang yang hadir. Barangkali seseorang yang hadir tidak layak mendengar pembicaraan terkait, hingga Allah swt. mencegah lidah si pembicara demi ketentraman dan perlindungan dari mendengar pembicaraan itu. Sehingga Allah swt. menjaganya terhadap pendengar yang bukan kompetennya.

Para syeikh yang ahli mengenal tharikat ini telah menjelaskan, "Terkadang alasan diamnya seseorang adalah karena ada jin yang hadir, yang bukan kompetennya. Karena majelis Para Sufi tidak pernah sepi dari kehadiran sekelompok jin."

Syeikh Abu Ali ad Daqqaq menuturkan, "Suatu ketika aku jatuh sakit di Marw, dan ingin kembali ke Naisabur. Aku bermimpi bahwa sebuah suara menyeru kepadaku, 'Engkau tidak dapat meninggalkan kota ini. Ada sekelompok jin yang menghadiri majelis majelismu dan mereka memperoleh manfaat dari ceramah ceramah yang engkau berikan. Demi mereka, tinggallah di tempatmu'!"
Salah seorang ahli hikmah berkata, "Manusia diciptakan hanya dengan satu lidah, namun dianugerahi dua mata dan dua telinga, agar ia mendengar dan mau melihat lebih banyak dari berbicara."

Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta. Ketika ia duduk, orang-orang mulai bergunjing dan memfitnah satu sama lain. Ia lalu berkata, "Kebiasaan kami adalah makan daging sesudah makan roti. Anda ini malah makan daging lebih dahulu. " Ucapannya ini merujuk kepada firman Allah swt.:
"Maukah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepada perbuatan itu." (Q.s. Al Hujurat: 12).

Salah scorang Sufi berkata, "Diam adalah bahasa ketabahan."
Sebagian mereka mengatakan, "Belajarlah diam sebagaimana kamu belajar berbicara. Jika bicara menjadi pembimbingmu, maka diam rnenguatkanmu."
Dikatakan, "Menjaga lisan adalah lewat diamnya." Ada yang mengatakan, "Lisan ibarat binatang buas, jika tidak kamu ikat akan menyerangmu."

Abu Hafs ditanya, "Keadaan manakah yang lebih baik bagi seorang wali, diam atau berbicara?" Ia menjawab, "Jika si pembicara mengetahui ada efek negatif dari pembicaraannya, hendaklah ia tinggal diam, bila mungkin selama usia Nabi Nuh as. Tetapi jika orang yang diam mengetahui efek negatif dari diamnya, hendaklah berdoa kepada Allah swt. agar diberi waktu dua kali usia Nabi Nuh as. agar dapat berbicara (agar bisa menunjukan kebaikan)."

Dikatakan, "Diam bagi kaum awam dengan lidahnya, diam bagi kaum yang ma'rifat kepada Allah swt. dengan hatinya, dan diam bagi para pecinta (muhibbin) adalah menahan pikiran menyimpang yang menyelusup pada hati sanubari mereka."

Sebagian sufi mengisahkan, 'Aku mengekang lidahku selama tigapuluh tahun, sehingga aku tidak mendengar ucapanku kecuali dari kalbuku. Kemudian aku mengekang kalbuku tigapuluh tahun, sehingga tidak mendengar kalbuku kecuali dari ucapanku."
Salah seorang Sufi mengatakan, "jika lidah Anda didiamkan, maka belum tentu Anda telah diselamatkan dari kata kata hati Anda. Jika Anda telah menjadi batang tubuh yang kering kerontang, Anda masih belum terbebas dari kata kata hawa nafsu Anda. Dan bahkan Jika Anda berjuang dengan susah payah, jiwa Anda masih belum akan berbicara dengan Anda sebab ia adalah tempat tersimpannya batin."

Dikatakan, "Lidah seorang tolol adalah kunci menuju kematiannya." Dikatakan juga, "jika seorang pecinta berdiam diri, maka ia akan binasa, dan jika seorang 'arif berdiam diri, ia akan berkuasa."

Al-Fudhail bin 'Iyadh berkata, "Barangsiapa memperhitungkan kata-katanya dibanding amalnya, maka kata-katanya akan menjadi sedikit, kecuali apa yang berarti (menurut kebutuhannya)."

Mujahadah

Syeikh Abul Qosim Al Qusyairy


"Dan orang orang yang
berjihad untuk (mencari) keridhaan Kami, benar benar akan Kami tunjukkan kepada merekajalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (Q.s. Al Ankabut: 69).

Diriwayatkan dari Abu Sa'id al Khudry, bahwa ketika Rasulullah saw. ditanya mengenai jihad terbaik, beliau menjawab, "Adalah perkataan yang adil yang disampaikan kepada seorang penguasa yang zallm." (H.r. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah). Maka air mata berlinang dari kedua mata Abu Sa'id ketika mendengar hal ini.

Syeikh Abu Ali ad Daqqaq r.a. berkata, "Barangsiapa menghiasi lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah. Siapa yang permulaannya tidak memiliki mujahadah dalam tharikat ini, ia tidak akan menemui cahaya yang memancar darinya."
Abu Utsman al Maghriby mengatakan, "Adalah kesalahan besar bagi seseorang membayangkan bahwa dirinya akan mencapai sesuatu di Jalan Nya atau bahwa sesuatu di Jalan Nya akan tersingkap baginya, tanpa bermujahadah."

Syeikh Abu Ali ad Daqqaq r.a. menegaskan, "Orang yang tidak berdiri dengan mantap di awal perjalanan spiritualnya tidak akan diizinkan beristirahat pada akhir perjalanannya." Dikatakannya pula, "Gerak adalah suatu berkat." Dan katanya kemudian, "Gerakan-gerakan dzahir akan melahirkan barakah barakah batin." As Sary berkata, "Wahai kaum muda, tekunlah kalian, sebelum kamu sekalian menginjak usia seperti diriku, sehingga kalian lemah dan lengah seperti diriku. " Padahal pada saat itu tidak seorang pun di antara para pemuda yang mampu menyejajari langkah as Sary dalam bidang ibadat. Saya mendengar al Hasan al Qazzaz berkata, "Jangan makan kecuali amat lapar, jangan tidur kecuali amat kantuk, jangan bicara kecuali dalam keadaan darurat.” Ibrahim bin Adham mengatakan, "Seseorang baru akan mencapai deraiat kesalehan, sesudah melakukan enam hal:

  1. Menutup pintu bersenang senang dan membuka pintu penderitaan;
  2. Menutup pintu keangkuhan dan membuka pintu kerendahan hati;
  3. Menutup pintu istirahat dan membuka pintu perjuangan;
  4. Menutup pintu tidur dan membuka pintu jaga;
  5. Menutup pintu kemewahan dan membuka pintu kemiskinan;
  6. Menutup pintu harapan duniawi dan membuka pintu persiapan menghadapi kernatian."

    Abu Amr bin Nujayd berkata, "Barangsiapa menghargai hawa nafsunya berarti meremehkan agamanya dan pendengarannya."

    Abu Ali ar Rudzbary mengatakan,"Apabila seorang Sufi - sesudah lima hari kelaparan berkata, 'Aku lapar,' kirimlah ia ke pasar untuk mencari nafkah. Prinsip mujahadah pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari kebiasaan kebiasaannya dan memaksanya menentang hawa nafsunya separijang waktu. "

    Jiwamempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencapai kebaikan: keberlarutan dalam memuja hawa nafsu dan penolakan pada tindak kepatuhan. Manakala jiwa menunggang nafsu, maka Anda harus mengendalikannya dengan kendali takawa. Manakala jiwa bersikukuh menolak untuk selaras dengan kehendak Tuhan, maka Anda harus mengendalikannya agar menolak hawa nafsunya. Manakala jiwa bangkit memberontak, maka Anda harus mengendalikan keadaan ini. Tiada satu hal pun yang berakibat lebih utama selain sesuatu yang muncul menggantikan kemarahan yang kekuatannya telah dihancurkan dan yang nyalanya telah dipadamkan oleh akhlak mulia. Manakala jiwa menemukan kemanisan dalam anggur kecongkakan, niscaya ia akan merana bila tidak sanggup menunjukkan kemampuannya dan menghiasi perbuatan- perbuatannya kepada siapa pun yang melihatnya. Orang harus memutuskannya dari kecenderungan seperti ini dan menyerahkannya pada hukuman kehinaan yang akan datang tatkala diingatkan akan harga dirinya yang rendah, asal usulnya yang hina dan amal amalnya yang menjijikkan. Perjuangan kaum awam berupa pelaksanaan tindakan tindakan; tujuan kaum khawash adalah menyucikan keadaan spiritual mereka. Bertahan dalam lapar dan jaga, adalah sesuatu yang mudah. Sedangkan membina akhlak dan membersihkan semua hal negatif yang melekat padanya sangatlah sulit.
    Satu dari sekian sifat jiwa yang merugikan dan paling sulit dilihat adalah ketergantungannya pada pujian manusia. Orang yang bermental seperti ini berarti menyangga beban langit dan bumi dengan satu alisnya. Satu pertanda yang mengisyaratkan mental seperti ini adalah bahwa apabila pujian orang tidak diberikan kepadanya, niscaya la menjadi pasif dan pengecut.

    Dikabarkan bahwa Abu Muhammad al Murta'isy berkata, "Aku berangkat haji berkali kali seorang diri. Pada suatu ketika aku menyadari bahwa segenap upayaku terkotori oleh kegembiraanku dalam melakukannya. Hal ini kusadari saat ibu memintaku menarikkan seguci air untuknya. Jiwaku merasakan hal ini sebagai beban yang berat. Saat itulah aku mengetahui bahwa apa yang kusangka merupakan kepatuhan kepada Allah swt. dalarn hajiku selama ini tidak lain hanyalah kesenanganku semata, yang datang dari kelemahan dalam jiwa, karena apabila nafsuku sirna, niscaya tidak akan mendapati tugas kewajibanku sebagai sesuatu yang memberatkan dalam hukurn syariat."

    Pada suatu ketika seorang wanita lanjut usia ditanya mengenai keadaan ruhaninya. la menjawab, "Semasa muda, aku berpikir bahwa keadaan keadaan ruhani itu berasal dari kekuatan dan semangat yang tak kujumpal saat ini, ketika sudah tua, semua itu sirna sudah."
    Dzun Nuun al Mishry berkata, "Penghormatan yang Allah berkenan memberikannya kepada seorang hamba, maka Allah menunjukkan kehinaan dirinya; penghinaan yang Allah berkenan menimpakannya kepada seorang hamba, maka Allah menyembunylkan kehinaan dirinya dari pengetahuan akan kehinaan itu sendiri.

    Ibrahim al Khawwas menegaskan, "Aku tidak menghadapi seluruh ketakutanku, kecuali secara langsung menghadapinya dengan menunggangnya."
    Muhammad bin Fadhl mengatakan, "Istirahat total adalah kebebasan dari keinginan hawa nafsu."

    Saya mendengar Abu Ali ar Rudzbary berkata, "Bahaya yang menimpa manusia datang dari tiga hal: Kelemahan watak, keterpakuan pada kebiasaan, dan mempertahankan teman yang merusak." Saya bertanya kepadanya, "Apakah kelemahan watak itu?" la menjawab, "Mengonsumsi hal hal yang haram." Lalu saya tanyakan, "Apakah keterpakuan pada kebiasaan itu?" la berkata, "Memandang dan mendengarkan segala sesuatu yang haram dan melibatkan diri dalam fitnah." Saya bertanya, "Apakah mempertahankan teman yang merusak itu?" Dijawabnya, "Itu terjadi ketika Anda menuruti hasrat nafsu dalam diri, lalu diri Anda mengikutinya."
    An Nashr Abadzy mengatakan, "Penjara adalah jiwa Anda. Apabila Anda melepaskan diri darinya, niscaya akan sampai pada kedamaian." la juga berkata, "Aku mendengar Muhammad al Farra' berkisah, bahwa Abul Husain al Warraq mengatakan, 'Ketika kami mulai menempuh jalan Nya lewat tasawuf di Masjid Abu Utsman al Hiry, praktik terbaik yang kami lakukan adalah bahwa kami memprioritaskan kemudahan bagi orang lain; kami tidak pernah tidur dengan menyimpan sesuatu tanpa disedekahkan; kami tidak pernah menuntut balas kepada seseorang yang menyinggung hati kami, bahkan kami selalu memaafkan tindakannya dan bersikap rendah hati kepadanya; dan jika kami memandang hina seseorang dalam hati kami, maka kami akan mewajibkan diri kami untuk melayaninya sampai perasaan memandang hina itu lenyap'."

    Abu ja'far berkata, "Nafsu, seluruhnya gelap gulita. Pelitanya adalah batinnya. Cahaya pelita ini adalah taufiq. Orang yang tidak disertai taufik dari Tuhannya, maka kegelapan akan menyelimutinya." Ketika mengatakan, "Pelitanya adalah batinnya," dimaksudkan adalah rahasia antara dirinya dan Allah swt, yakni tempat keikhlasannya. Dengannya si hamba tersebut mengetahui bahwa semua peristiwa adalah karya Tuhan; peristiwa peristiwa bukanlah ciptaan dirinya, tidak pula berasal darinya. Bila mengetahui hal ini, la akan bebas dalam setiap keadaannya, dari kekuatan dan kekuasaannya sendirl dalam melestarikan manfaat waktunya. Orang yang tidak disertai taufik tidak akan memperoleh manfaat dari pengetahuan tentang jiwanya atau tentang Tuhannya. Itulah sebabnya mengapa para syeikh mengatakan, "Orang yang tidak mempunyai sirr akan terus bersikeras menuruti hawa nafsunya."

    Abu Utsman berkata, "Selama orang melihat setiap sesuatu baik dalam jiwanya, la tidak akan mampu melihat kelemahan-kelemahannya. Hanya orang yang berani mendakwa dirinya terusmenerus selalu berbuat salahlah yang akan sanggup melihat kesalahannya itu."

    Abu Hafs mengatakan, "Tidak ada jalan yang lebih cepat ke arah kerusakan, kecuali jalan orang yang tidak mengetahui kekurangan diriya, karena kemaksiatan kepada Tuhan adalah jalan cepat menuju kekafiran."
    Abu Sulaiman berkata, "Aku tahu bahwa tidak sedikit pun kebaikan dapat ditemukan dalam suatu perbuatan yang kulakukan sendiri, aku berharap diberi pahala karenanya."

    As Sary berkomentar, "Waspadalah terhadap orang yang suka bertetangga dengan orang kaya, pembaca pembaca Qur'an yang sering mengunjungi pasar, dan ulama ulama yang mendekati penguasa."
    Dzun Nuun al Mishry mengatakan, "Kerusakan merasuki diri manusia dikarenakan enam hal:
    1. Mereka memiliki niat yang lemah dalam melakukan amal untuk akhirat;
    2. Tubuh mereka diperbudak oleh nafsu;
    3. Mereka tidak henti hentinya mengharapkan perolehan duniawi, bahkan menjelang ajal;
    4. Mereka lebih suka menyenangkan makhluk, mengalahkan ridha Sang Pencipta;
    5. Mereka memperturutkan hawa nafsunya, dan tidak menaruh perhatian yang cukup kepada Sunnah Nabi saw.;

Mereka membela diri dengan menyebutkan beberapa kesalahan orang lain, dan mengubur prestasi pendahulunya. "

Khusyu dan Tawadhu'

Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman Allah:
"Sesungguhnya beruntunglah orang orang yang beriman, mereka yang khusyu' dalam shalatnya”.

(Q.s. Al Mu'minun: 1 2)


Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak akan masuk surga, barangsiapa yang dalam hatinya terdapat kesombongan walau sekecil biji sawi, dan tidak akan masuk neraka barangsiapa yang dalam hatinya terdapat iman walaupun sekecil biji sawi.” Seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang suka berpakaian bagus;"' Beliau menjawab, "Allah swt. Maha Indah dan menyukai keindahan, sombong adalah berpaling dari AI Haq dan mencemooh manusia." (H.r. Muslim).

Anas bin Malik mengabarkan, "Rasulullah saw. suka mengunjungi orang sakit, mengiringkan jenazah, mengendarai keledai dan memenuhi undangan budak-budak. Dalam peperangan melawan bani Quraidhah dan bani Nadhir, Rasul mengendarai seekor keledai yang diberi tali kendali dari ijuk korma dan di atasnya diberi pelana ijuk pula. "
Khusyu' adalah berkait kepada Allah swt, dan tawadhu' adalah menyerah kepada Allah dan menjauhi sikap kontra dalam menerima hukum.

Hudzaifah berkata, "Khusyu' adalah hal yang pertama tama hilang dari agamamu." Ketika salah scorang Sufi ditanya tentang khusyu', ia menjawab, "Khusyu' adalah tegaknya hati di hadapan Allah swt."
Sahl bin Abdullah menegaskan, "Setan tidak akan mendekati orang yang hatinya khusyu'." Dikatakan, "Di antara tanda tanda kekhusyu'an hati seorang hamba adalah manakala ia diprovokasi, disakiti hatinya atau ditolak, maka ia semua itu diterimanya."
Salah seorang Sufi berkomentar, "Kekhusyu'an hati adalah menahan mata dari melirik ke sana ke mari."

Muhammad bin Ali at Tirmidzy menjelaskan, "Khusyu' adalah begini: jika api hawa nafsu dalam diri seseorang padam, asap dalam dadanya reda dan cahaya kecemerlangan bersinar dalam hatinya, lalu hawa nafsunya mati, sementara cahaya keagungan menyinari hatinya, sehingga syahwatnya mati, dan hatinya hidup khusyu'lah semua anggota badannya."
Al Hasan al Bashry berkata, "Khusyu' adalah rasa takut yang terus menerus dalam hati."
Ketika al junayd ditanya tentang khusyu', ia menjawab, "Khusyu' adalah jika hati menghinakan dirinya di hadapan Yang Maha Tahu kegaiban."
Allah swt. berfirman:
"Hamba hamba Ar Rahman yaitu orang orang yang berjalan di muka bumi dengan sikap rendah hati." (Q.s. Al Furqan: 63).
Syeikh Abu Ali ad Daqqaq mengatakan, bahwa makna ayat ini adalah hamba hamba Allah itu berjalan di muka bumi dengan penuh khusyu' dan tawadhu'.
Saya juga mendengar beliau mengatakan, bahwa mereka adalah orang orang yang tidak memperdengarkan bunyi sandal mereka ketika berjalan.
Kaum Sufi sepakat bahwa tempat khusyu' adalah di dalam hati. Ketika salah seorang Sufi melihat seorang laki-laki yang memperlihatkan sikap rendah hati dalam perilaku lahiriahnya, dengan mata yang memandang ke bawah dan bahu yang rendah, ia berkata kepadanya, "Wahai sahabat, khusyu' itu di sini," sambil menunjuk ke dadanya, bukan di sini," sambil menunjuk bahunya.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki sedang mengelus-elus jenggotnya dalam shalat, dan beliau lalu bersabda:
"Jika hatinya khusyu', niscaya anggota badannya juga akan khusyu'." (H.r. Tirmidzi).
Dikatakan, "Khusyu' dalam shalat berarti seseorang tidak menyadari siapa yang sedang berdiri di sebelah kanan atau kirinya.
Syeikh ad-Daqqaq berkata, "Khusyu' mirip dengan perkataan, bahwa hati nurani seseorang dikhidmatkan sambil musyahadah kepada Allah swt." Dikatakan, "Khusyu' adalah perasaan papa dan hina yang meresap ke dalam hati manakala menyaksikan Allah swt."

Dikatakan pula, "Khusyu' adalah kegentaran hati di kala hati dikuasai hakikat."
Khusyu' adalah mukadimah bagi luapan anugerah.
Dikatakan, "Khusyu' adalah kegentaran hati secara tiba-tiba ketika Kebenaran terungkapkan secara tiba-tiba."
Fudhail bin 'Iyadh menegaskan, bahwa dirinya tidak senang melihat seseorang terlihat lebih khusyu' daripada batinnya.
Abu Sulaiman ad-Darany berkata, "Seandainyanya semua manusia bersatu padu untuk menghinakan aku, niscaya mereka tidak akan mampu mencapai kedalaman dimana aku menghinakan diriku seridiri.

Dikatakan, "Orang yang tidak merendahkan dirinya, orang lain tidak akan menghormatinya pula."
Umar bin Abdul Aziz tidak mau bersujud kecuali hanya di tanah.
Mujahid berkata, "Ketika Allah swt. menenggelamkan kaum Nabi Nuh, gunung-gunung bersikap congkak dan meninggikan diri, tetapi Bukit Judy merendahkan dirinya. Karena itu, Allah swt. menjadikannya sebagai tempat mendaratnya perahu Nabi Nuh as."
Umar bin Khaththab r.a. selalu berjalan cepat-cepat, tentang ini dijelaskannya bahwa berjalan secara demikian akan membawanya lebih cepat kepada kebutuhan dan menjaganya dari keangkuhan.
Pada suatu malam Umar bin Abdul Aziz r.a. sedang menulis, lalu datanglah seorang tamu. Melihat lampu hampir padam, si tamu menawarkan diri, "Biarlah saya yang membesarkan nyalanya." Tapi Umar menjawab, "Jangan, tidaklah ramah menjadikan tamu sebagai pelayan!" Maka si tamu lalu berkata, "Kalau begitu, biarlah saya panggilkan pelayan." Umar menolak, "Jangan, ia baru saja pergi tidur!" Lalu beliau sendiri pergi ke tempat penyimpanan minyak dan mengisi lampu itu. Si tamu. berseru, "Tuan lakukan pekerjaan ini sendiri, wahal Amirul Mukminin?" Umar berkata kepadanya, "Aku melangkah dari sini sebagai Umar, dan kembali ke sini masih sebagal Umar pula."

Abu Sa'id al-Khudry r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. selalu memberi makan unta unta, menyapu lantai rumah, memperbaiki sandal, menambal baju, memerah susu, makan bersama pelayan dan membantunya menggiling gandum jika pelayan lelah. Beliau tidak pernah merasa malu membawa barang-barang beliau sendiri dari pasar untuk keluarganya. Beliau biasa berjabat tangan dengan orang kaya maupun miskin, dan lebih dahulu memberi salam jika bertemu.

Nabi saw. tidak pernah mencela makanan apa pun yang dihidangkan kepada beliau, sekalipun hanya berupa kurma kering. Beliau sangat sederhana dalam hal makanan, lemah lembut dalam berperilaku, mulia dalam sikap, baik dalam berteman, wajahnya bercahaya, tersenyum tapi tanpa tertawa, sedih tapi tidak cemberut; rendah hati tapi tidak lembek, murah hati tapi tidak boros. Rasulullah saw. juga berhati lembut dan kasih sayang kepada setiap Muslim. Tidak pernah memperlihatkan tanda tanda telah makan kenyang, dan juga tidak pernah mengulurkan tangan dengan rakus.

Fudhail bin 'lyadh berkata, "Para ulama dari Yang Maha Pengasih memiliki sikap khusyu' dan tawadhu', sedangkan para ulama penguasa memiliki sikap takjub dan sombong." Ia juga berkomentar, "Barangsiapa menganggap dirinya masih berharga, berarti tidak memiliki sifat tawadhu' sama sekali."

Ketika Fudhail ditanya tentang tawadhu', ia mengajarkan, "Pasrahlah kepada kebenaran, patuhi dan terimalah ia dari siapa pun yang mengatakannya."
Ketika al junayd ditanya tentang tawadhu', ia menjawab, "Tawadhu' adalah merendahkan sayap terhadap semua makhluk dan bersikap lembut kepada mereka."

Wahb berkata, "Telah tertulis dalam salah satu kitab suci, 'Sesungguhnya Aku (Allah) mengambil sari zat dari tulang sulbi Adam, dan Aku tidak menemukan hati yang lebih tawadhu' daripada hati Musa as. Maka Kupilih ia dan Aku berbicara langsung dengannya'."

Ibnul Mubarak mengatakan, "Kesombongan terhadap orang kaya dan rendah hati terhadap yang miskin adalah bagian dari sifat tawadhu'."
Abu Yazid ditanya, "Bisakah seseorang mencapai sifat tawadhu'?. Dijawabnya, "jika ia tidak menisbatkan dirinya pada suatu maqam dan haal, serta menganggap bahwa tidak seorang pun di antara ummat manusia di dunia ini yang lebih buruk dari dirinya."
Dikatakan, "Tawadhu' adalah anugerah Allah yang tidak pernah iri dengki orang, dan kesombongan adalah penderitaan yang tidak membangkitkan belas kasihan. Kemuliaan terletak pada sikap tawadhu', dan orang yang mencari kemuliaan dalam kesombongan tidak akan pernah mendapatkannya."

Ibrahim bin Syaiban menegaskan, "Kehormatan terletak di dalam sikap tawadhu', kemuliaan di dalam takwa, dan kemerdekaan di dalam qana'ah."
Abu Sa'id al Araby mengatakan, telah sampai kepadanya tentang Sufyan ats-Tsaury yang berkata, 'Ada lima macam manusia termulia di dunia: Ulama yang zuhud, seorang faqih yang Sufi, seorang kaya yang rendah hati, scorang fakir yang bersyukur, dan seorang bangsawan yang mengikuti Sunnah."

Yahya bin Mu'adz menegaskan, "Kerendahan hati adalah sifat yang sangat baik bagi setiap orang, tapi ia paling baik bagi seorang yang kaya. Kesombongan adalah sifat yang menjijikkan bagi setiap orang, tetapi ia paling menjijikkan jika terdapat pada orang yang miskin."
Ibnu Atha' berkomentar: "Tawadhu' adalah menerima kebenaran dari siapa pun datangnya."

Dikisahkan, ketika Zaid bin Tsabit sedang mengendarai kuda, Ibnu Abbas datang mendekatinya agar dapat memegang kendali kudanya. Maka Zaid lalu mencegahnya, "Jangan, wahai anak paman Rasulullah!" Ibnu Abbas berkata, "Itulah yang diperintahkan kepada kami terhadap para ulama kami." Maka Zaid bin Tsabit meraih tangan Ibnu Abbas lalu menciumnya, sambil berkata, "Ini adalah yang diperintahkan untuk kami lakukan terhadap keluarga Rasulullah saw."

Urwah bin az-Zubair menuturkan, "Ketika aku melihat Ummar bin Khaththab memikul segantang air di atas pundaknya, aku berkata kepadanya, 'Wahai Amirul Mukminin, pekerjaan ini tidak patut bagi Anda." Beliau menjawab, "Ketika para delegasi datang kepadaku, mendengarkan dan menaatiku, suatu perasaan sombong merasuk ke dalam hatiku, dan kini aku ingin menghancurkannya." Beliau terus memikul air itu dan membawanya ke rumah seorang wanita Anshar dan mengisikannya ke dalam gentong milik wanita itu.

Abu Nashr as-Sarraj ath-Thausy mengabarkan, "Ketika Abu Hurairah r.a. menjabat amir di Madinah, ia pernah terlihat sedang memikul seikat kayu di atas punggungnya, dan berteriak teriak, 'Beri jalan untuk amir'!"
Abdullah ar-Razy menjelaskan, "Tawadhu' adalah tidak membedabedakan dalam memberikan pelayanan."

Abu Sulaiman ad-Darany berkata, "Barangsiapa yang masih memberikan nilai kepada dirinya sendiri tidak akan merasakan manisnya ibadat."
Yahya bin Mu'adz mengatakan, "Keangkuhan terhadap orang yang bersikap sombong terhadapmu dikarenakan kekayaannya, adalah sikap tawadhu'."

Seorang laki-laki datang kepada asy-Syibly dan bertanyalah kepadanya, "Siapakah engkau?" ia menjawab, "Wahai tuanku, sebuah titik di bawah ba." Lalu laki laki itu berkata, "Engkau adalah saksiku, sepanjang engkau menganggap rendah kedudukan dirimu sendiri."
Ibnu Abbas r.a. mengatakan, "Salah satu bagian tawadhu' adalah bahwa orang meminum sisa minuman yang ditinggalkan oleh saudaranya."
Bisyr mengajarkan, "Berilah salam kepada para pecinta dunia dengan cara tidak memberi salam kepada mereka."

Syu'alb bin Harb menuturkan, "Ketika aku sedang melakukan thawaf di Ka'bah, seorang buruh laki laki menyikutku, dan aku menoleh kepadanya. Ternyata orang itu adalah Fudhail bin 'Iyadh, yang berkata, "WahaiAbu Shalih, jika engkau berpikiran bahwa di antara manusia yang melakukan ibadat haji ini ada yang lebih hina daripada dirimu atau diriku, maka betapa buruknya pikiranmu itu'."

Salah seorang Sufi mengatakan, 'Aku melihat seorang laki laki ketika sedang melakukan thawaf di Ka'bah. Ia sedang dikelilingi oleh orang orang yang menyanjung dan memujinya. Karena ulah mereka itu, hingga menghalangi orang lain dari melakukan thawaf, selang beberapa waktu setelah itu aku melihat ia meminta minta kepada orang orang yang lewat di sebuah jembatan di Baghdad. Aku terkejut dan heran, ia lalu berkata kepadaku, Aku dulu membanggakan diri di tempat di mana manusia mestinya merendahkan diri, maka Allah swt. lalu menimpakan kehinaan kepadaku di tempat di mana manusia berbangga diri."

Ketika Umar bin Abdul Aziz mendengar bahwa salah seorang putranya telah membeli sebuah permata yang sangat mahal seharga seribu dirham. Beliau lalu menulis surat kepadanya, 'Aku telah mendengar bahwa engkau telah membeli sebutir permata seharga seribu dirham, jika surat ini telah sampai ke tanganmu, juallah cincin itu dan berilah makan seribu orang miskin, selanjutnya buatlah cincin seharga dua dirham, dengan batu dari besi Cina, dan tulislah padanya, 'Allah mengasihi orang yang mengetahui harga dirinya yang sebenarnya'."

Dikatakan bahwa Jabir bin Hayawah berkomentar, "Ketika Umar bin Abdul Aziz sedang berkhutbah, ku taksir-taksir pakaian yang dikenakannya berharga sekitar duabelas dirham saja, yang terdiri dari jubah luar, surban, celana, sepasang sandal, dan selendang."
Dikatakan bahwa ketika Abdullah bin Muhammad bin Wasi' berjalan dengan lagak tak terpuji, ayahnya berkata kepadanya, "Tahukah kamu dengan harga berapa aku dulu membeli ibumu? Cuma tigaratus dirham. Dan ayahmu ini, semoga Allah tidak memperbanyak jumlah manusia yang sepertinya di kalangan kaum Muslimin. Lantas, dengan orangtua yang semacam ini, engkau berjalan dengan lagak begitu?"
Hamdun al-Qashshar berkata, "Tawadhu' adalah engkau tidak memandang dirimu dibutuhkan oleh siapa pun, baik di dunia ini maupun di dalam hal agama."

Dikatakan bahwa Abu Dzar dan Bilal -semoga Allah meridhai mereka berdua- sedang bertengkar. Abu Dzar menghina Bilal karena kulitnya yang hitam. Bilal mengadu kepada Rasulullah saw, yang lalu bersabda, "Wahai 'Abu Dzar, sungguh masih ada sifat jahiliyah dalam hatimu!" Mendengar itu, Abu Dzar menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersumpah tidak akan mengangkat kepalanya sampai Bilal menginjakkan kakinya pada pipinya. Ia tidak bangunbangun sampai Bilal melakukan hal itu.

Ketika al Hasan bin Ali r.a. berjalan melewati sekelompok anak-anak yang sedang makan roti, mereka mengajaknya pula makan. Beliau pun turun dari atas kendaraan dan makan bersama mereka. Kemudian beliau membawa mereka ke rumah beliau, mengajak mereka makan, memberi mereka pakaian, dan berkata, 'Aku berhutang budi kepada mereka sebab mereka tidak memperoleh lebih dari apa yang mereka tawarkan kepadaku, sedangkan aku memperoleh keuntungan lebih dari itu."