Translate

Minggu, 08 November 2009

Buku Zuhud

100 Tokoh Zuhud E-mail

ImageSungguh mengagumkan ada seorang Gubernut yang miskin bahkan lebih miskin dari rakyatnya, Khalifah Umar Bin Khaththab sangat kaget ketika mendengar berita ini.

Ini salah satu kutipan kisah pada buku ini.

Buku ini memuat 100 Tokoh Zuhud yang luar biasa dimulai dari Rasulullah saw., sahabat, Tabi'in dan Tabi'it-Tabi'in.

Nilai-nilai moral dan akhlak selalu mengalami pengikisan pada setiap diri manusia di jagad bumi–termasuk pula diri kita, kaum Muslimin. Itulah sebabnya Allah swt. mengutus para rasul-Nya yang mulia untuk meluruskan kaum yang ingkar hingga kembali ke fitrah kebenaran. Selain itu, akhlak para rasul patut dan layak dijadikan uswah (teladan) yang hakiki. Namun, godaan setan, tarikan syahwat duniawi, dan jiwa lalai menghamba pada-Nya membuat kita semakin sulit hidup berislam seperti Rasul saw. dan pribadi-pribadi teladan lainnya.


Islam mengajarkan zuhud sebagai salah satu pilar akhlak mulia. Sepanjang lintasan sejarah, Islam memiliki pribadi zuhud teladan yang mengagumkan kawan maupun lawan. Mereka hidup zuhud di masanya. Namun, zuhud mereka mampu mendidik dan memberi contoh kepada kita perihal ketaatan beribadah, hidup sederhana, penunaian amanah, latihan menguasai syahwat, jiwa tafaqquh fid-din, optimalisasi diri untuk membela umat, perasaan pantang menyerah, tak mudah tergoda perhiasan dunia, kerinduan berjumpa dengan Allah swt. dan mendapat surga-Nya, kecintaan kepada kaum yang miskin dan lemah, dan sebagainya.
Buku ini secara nyata memuat 100 tokoh manusia zuhud yang mengesankan bagi jiwa-jiwa yang telah dahaga dan merindukan siraman kisah teladan yang penuh dengan keimanan kepada Allah swt. dan akhlak mulia yang mengagumkan. Ditulis dengan bahasa deskripsi yang indah dan sederhana, membuat buku ini enak dibaca dan mudah dipahami.

Daftar Isi

Pengantar Penerbit
Mukadimah
Perkataan Ulama tentang Zuhud
1. Nabi Muhammad saw.
2. Nabi Dawud a.s.
3. Nabi Isa a.s.
4. Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.
5. ‘Umar bin Khaththab r.a.
6. ‘Utsman bin ‘Affan r.a.
7. Ali bin Abu Thalib r.a.
8. ‘Umar bin Abdul ‘Aziz r.a.
9. ‘Utsman bin Mazh‘un r.a.
10. Mush‘ab bin ‘Umair r.a.
11. Abu ‘Ubaidah bin Jarrah r.a.
12. Mu‘adz bin Jabal r.a.
13. Said bin ‘Amir al-Jumahi r.a.
14. ‘Umair bin Sa‘d r.a.
15. Abdullah bin Mas‘ud r.a.
16. Abu Dzar al-Ghifari r.a.
17. Abu Darda’ r.a.
18. Thalhah bin ‘Ubaidillah r.a.
19. Salman al-Farisi r.a.
20. Khudzaifah bin Yaman r.a.
21. Abu Hurairah r.a.
22. Abdullah bin ‘Umar bin Khaththab r.a.
23. Harim bin Hayyan r.a.
24. ‘Amr bin ‘Utbah
25. Uwais al-Qarni
26. ‘Amir bin Qais
27. Abu Muslim al-Khaulani
28. ‘Alqamah bin Qais
29. Rabi‘ bin Khutsaim
30. Masruq bin Ajda`
31. Ahnaf bin Qais
32. Shafwan bin Muhriz
33. Aswad an-Nakh‘i
34. Yazid bin Aswad
35. Shilah bin Asyam
36. Syaqiq bin Salmah
37. Mutharrif bin Syikhkhir
38. Ibrahim at-Taimi
39. Zainal ‘Abidin Ali bin Husain r.a.
40. Sa‘id bin Jubair
41. Ibrahim an-Nakh‘i
42. Abdullah bin Muhairiz
43. Salim bin Abdullah bin ‘Umar bin Khaththab r.a.
44. Thawus bin Kaisan
45. Bakr bin Abdullah al-Muzanni
46. Muslim bin Yasar
47. Hasan al-Bashri
48. Muhammad bin Sirin
49. Thalhah bin Musharrif
50. ‘Atha’ bin Rabah
51. Wahb bin Munabbih
52. ‘Aun bin Abdullah bin ‘Utbah
53. Yazid ar-Raqasyi
54. Bilal bin Sa‘d
55. Muhammad bin Wasi‘
56. ‘Amir bin Abdullah bin Zubair bin ‘Awwam
57. Tsabit al-Bunani
58. Muhammad bin Munkadir
59. Ayyub as-Sikhtiyani
60. Malik bin Dinar
61. Manshur bin Mu‘tamir
62. Shafwan bin Sulaim
63. Ziyad bin Abu Ziyad
64. Rabi‘Ah ar-Ra’yi
65. Yunus bin ‘Ubaid
66. Salamah bin Dinar
67. ‘Atha’ as-Salimi
68. Sulaiman at-Taimi
69. Kahmas bin Hasan al-Qaisi
70. Imam Abu Hanifah an-Nu‘man
71. Abdullah bin ‘Aun
72. Hassan bin Abu Sinan
73. Wuhayyib bin Ward
74. Al-Auza‘i
75. Ibnu Abi Dzi’b
76. Haiwah bin Syuraih
77. Sulaiman al-Khawwash
78. Sufyan ats-Tsauri
79. Ibrahim bin Adham
80. Dawud ath-Tha’i
81. Warrad al-‘Ajli
82. Laits bin Sa‘d
83. Imam Malik
84. Dhaigham bin Malik
85. Ibnu Mubarak
86. Abdullah al-‘Umari
87. Fudhail bin ‘Iyadh
88. Abdullah bin Idris
89. Syaqiq al-Balkhi
90. Yusuf bin Asbath
91. Waki‘ bin Jarrah
92. Ma‘ruf al-Karkhi
93. Imam Syafi’i
94. Abu Sulaiman ad-Darani
95. Manshur bin ‘Ammar
96. Bisyr al-Hafi
97. Hatim al-Asham
98. Imam Ahmad bin Hanbal
99. As-Sarri as-Saqthi
100. Abdushshamad bin ‘Umar

Kehidupan Dunia Kesenangan Yang Menipu

"Allah berfirman"

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الأمْوَالِ وَالأوْلادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ


“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
(QS. Al-Hadid: 20)

Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu, batil, dan sekadar permainan. Yang dimaksud sekadar permainan adalah sesuatu yang tiada bermanfaat dan melalaikan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa dunia adalah perhiasan, dan orang-orang yang terfitnah dengan dunia menjadikannya sebagai perhiasannya dan tempat untuk saling bermegah-megahan dengan kenikmatan yang ada padanya berupa anak-anak, harta-benda, kedudukan dan yang lainnya sehingga lalai dan tidak beramal untuk akhiratnya.

Allah menyerupakan kehancuran dunia dan kefanaannya yang begitu cepat dengan hujan yang turun ke permukaan bumi. Ia menumbuhkan tanaman yang menghijau lalu kemudian berubah menjadi layu, kering dan pada akhirnya mati. Demikianlah kenikmatan dunia, yang pasti pada saatnya akan punah dan binasa. Maka barangsiapa mengambil pelajaran dari permisalan yang disebutkan di atas, akan mengetahui bahwa dunia ibarat es yang semakin lama semakin mencair dan pada akhirnya akan hilang dan sirna. Sedangkan segala apa yang ada di sisi Allah adalah lebih kekal, dan akhirat itu lebih baik dan utama sebagaimana lebih indah dan kekalnya permata dibandingkan dengan es. Apabila seseorang mengetahui dengan yakin akan perbedaan antara dunia dan akhirat dan dapat membandingkan keduanya, maka akan timbul tekad yang kuat untuk menggapai kebahagian dunia akhirat.

Definisi Zuhud

Banyak sekali penjelasan ulama tentang makna zuhud. Umumnya mengarah kepada makna yang hampir sama. Di sini akan disampaikan sebagian dari pendapat tersebut.

Makna secara bahasa:

Zuhud menurut bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan karena (seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan “syaiun zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan hina”.

Makna secara istilah:

Ibnu Taimiyah mengatakan – sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim – bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.

Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam kebenaran.

Di sini zuhud ditafsirkan dengan tiga perkara yang semuanya berkaitan dengan perbuatan hati:

  1. Bagi seorang hamba yang zuhud, apa yang ada di sisi Allah lebih dia percayai daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Hal ini timbul dari keyakinannya yang kuat dan lurus terhadap kekuasaan Allah. Abu Hazim az-Zahid pernah ditanya, “Berupa apakah hartamu?” Beliau menjawab, “Dua macam. Aku tidak pernah takut miskin karena percaya kepada Allah, dan tidak pernah mengharapkan apa yang ada di tangan manusia.” Kemudian beliau ditanya lagi, “Engkau tidak takut miskin?” Beliau menjawab, “(Mengapa) aku harus takut miskin, sedangkan Rabb-ku adalah pemilik langit, bumi serta apa yang berada di antara keduanya.”
  2. Apabila terkena musibah, baik itu kehilangan harta, kematian anak atau yang lainnya, dia lebih mengharapkan pahala karenanya daripada mengharapkan kembalinya harta atau anaknya tersebut. Hal ini juga timbul karena keyakinannya yang sempurna kepada Allah.
  3. Baginya orang yang memuji atau yang mencelanya ketika ia berada di atas kebenaran adalah sama saja. Karena kalau seseorang menganggap dunia itu besar, maka dia akan lebih memilih pujian daripada celaan. Hal itu akan mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran karena khawatir dicela atau dijauhi (oleh manusia), atau bisa jadi dia melakukan kebatilan karena mengharapkan pujian. Jadi, apabila seorang hamba telah menganggap sama kedudukan antara orang yang memuji atau yang mencelanya, berarti menunjukkan bahwa kedudukan makhluk di hatinya adalah rendah, dan hatinya dipenuhi dengan rasa cinta kepada kebenaran.

Hakekat zuhud itu berada di dalam hati, yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan ketamakan terhadap dunia dari hati seorang hamba. Ia jadikan dunia (hanya) di tangannya, sementara hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah dan akhirat.

Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total dan menjauhinya. Lihatlah Nabi, teladan bagi orang-orang yang zuhud, beliau mempunyai sembilan istri. Demikian juga Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, sebagai seorang penguasa mempunyai kekuasaan yang luas sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Para Shahabat, juga mempunyai istri-istri dan harta kekayaan, yang di antara mereka ada yang kaya raya. Semuanya ini tidaklah mengeluarkan mereka dari hakekat zuhud yang sebenarnya.

Tingkatan Zuhud

Ada beberapa tingkatan zuhud sesuai dengan keadaan setiap orang yang melakukannya, yaitu:

  1. Berusaha untuk hidup zuhud di dunia; sementara ia menghendaki (dunia tersebut), hati condong kepadanya dan selalu menoleh ke arahnya, akan tetapi ia berusaha melawan dan mencegahnya.
  2. Orang yang meninggalkan dunia dengan suka rela, karena di matanya dunia itu rendah dan hina, meskipun ada kecenderungan kepadanya. Dan ia meninggalkan dunia tersebut (untuk akhirat), bagaikan orang yang meninggalkan uang satu dirham untuk mendapatkan uang dua dirham (maksudnya balasan akhirat itu lebih besar daripada balasan dunia).
  3. Orang yang zuhud dan meninggalkan dunia dengan hati yang lapang. Ia tidak melihat bahwa dirinya meninggalkan sesuatu apapun. Orang seperti ini bagaikan seseorang yang hendak masuk ke istana raja, terhalangi oleh anjing yang menjaga pintu, lalu ia melemparkan sepotong roti ke arah anjing tersebut sehingga membuat anjing tersebut sibuk (dengan roti tadi), dan ia pun dapat masuk (ke istana) untuk menemui sang Raja dan mendapatkan kedekatan darinya. Anjing di sini diumpamakan sebagai syaitan yang berdiri di depan pintu (kerajaan/surga) Allah, yang menghalangi manusia untuk masuk ke dalamnya, sementara pintu tersebut dalam keadaan terbuka. Adapun roti diumpamakan sebagai dunia, maka barangsiapa meninggalkannya niscaya akan memperoleh kedekatan dari Allah.

Hal-Hal yang Mendorong untuk Hidup Zuhud

1. Keimanan yang kuat dan selalu ingat bagaimana ia berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat guna mempertanggung-jawabkan segala amalnya, yang besar maupun yang kecil, yang tampak ataupun yang tersembunyi. Ingat! betapa dahsyatnya peristiwa datangnya hari kiamat kelak. Hal itu akan membuat kecintaannya terhadap dunia dan kelezatannya menjadi hilang dalam hatinya, kemudian meninggalkannya dan merasa cukup dengan hidup sederhana.

2. Merasakan bahwa dunia itu membuat hati terganggu dalam berhubungan dengan Allah, dan membuat seseorang merasa jauh dari kedudukan yang tinggi di akhirat kelak, dimana dia akan ditanya tentang kenikmatan dunia yang telah ia peroleh, sebagaimana firman Allah,

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takaatsur: 6)

Perasaan seperti ini akan mendorong seorang hamba untuk hidup zuhud.

3. Dunia hanya akan didapatkan dengan susah payah dan kerja keras, mengorbankan tenaga dan pikiran yang sangat banyak, dan kadang-kadang terpaksa harus bergaul dengan orang-orang yang berperangai jahat dan buruk. Berbeda halnya jika menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah; jiwa menjadi tentram dan hati merasa sejuk, menerima takdir Allah dengan tulus dan sabar, ditambah akan menerima balasan di akhirat. Dua hal di atas jelas berbeda dan (setiap orang) tentu akan memilih yang lebih baik dan kekal.

4. Merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak menyebutkan tentang kehinaan dan kerendahan dunia serta kenikmatannya yang menipu (manusia). Dunia hanyalah tipu daya, permainaan dan kesia-siaan belaka. Allah mencela orang-orang yang mengutamakan kehidupan dunia yang fana ini daripada kehidupan akhirat, sebagaimana dalam firman-Nya,

“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naaziat: 37-39)

Dalam ayat yang lainnya Allah berfirman,

“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’laa: 16-17)

Semua dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah, mendorong seorang yang beriman untuk tidak terlalu bergantung kepada dunia dan lebih mengharapkan akhirat yang lebih baik dan lebih kekal.

Zuhud yang Bermanfaat dan Sesuai Dengan Syariat

Zuhud yang disyariatkan dan bermanfaat bagi orang yang menjalaninya adalah zuhud yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat demi menggapai kehidupan akhirat. Adapun sesuatu yang memberi manfaat bagi kehidupan akhirat dan membantu untuk menggapainya, maka termasuk salah satu jenis ibadah dan ketaatan. Sehingga berpaling dari sesuatu yang bermanfaat merupakan kejahilan dan kesesatan sebagaimana sabda Nabi,

“Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim hadits no. 4816)

Yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah beribadah kepada Allah, menjalankan ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya. Dan semua yang menghalangi hal ini adalah perkara yang mendatangkan kemudharatan dan tidak bermanfaat. Yang paling berguna bagi seorang hamba adalah mengikhlaskan seluruh amalnya karena Allah. Orang yang tidak memperhatikan segala yang dicintai dan dibenci oleh Allah dan rasul-Nya akan banyak menyia-nyiakan kewajiban dan jatuh ke dalam perkara yang diharamkan; meninggalkan sesuatu yang merupakan kebutuhannya seperti makan dan minum; memakan sesuatu yang dapat merusak akalnya sehingga tidak mampu menjalankan kewajiban; meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar; meningalkan jihad di jalan Allah karena dianggap mengganggu dan merugikan orang lain. Pada akhirnya, orang-orang kafir dan orang-orang jahat mampu menguasai negeri mereka dikarenakan meninggalkan jihad dan amar ma’ruf -tanpa ada maslahat yang nyata-.

Allah berfirman,

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.’” (QS. Al-Baqarah: 217)

Allah menjelaskan dalam ayat ini, walaupun membunuh jiwa itu merupakan keburukan, akan tetapi fitnah yang ditimbulkan oleh kekufuran, kezaliman dan berkuasanya mereka (orang-orang kafir) lebih berbahaya dari membunuh jiwa. Sehingga menghindari keburukan yang lebih besar dengan melakukan keburukan yang lebih ringan adalah lebih diutamakan. Seumpama orang yang tidak mau menyembelih hewan dengan dalih bahwa perbuatan tersebut termasuk aniaya terhadap hewan. Orang seperti ini adalah jahil, karena hewan tersebut pasti akan mati. Disembelihnya hewan tersebut untuk kepentingan manusia adalah lebih baik daripada mati tanpa mendatangkan manfaat bagi seorang pun. Manusia lebih sempurna dari hewan, dan suatu kebaikan tidak mungkin bisa sempurna untuk manusia kecuali dengan memanfaatkannya, baik untuk dimakan, dijadikan sebagai kendaraan atau yang lainya. Yang dilarang oleh Nabi adalah menyiksanya dan tidak menunaikan hak-haknya yang telah tetapkan oleh Allah.

Nabi bersabda,

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu, maka jikalau kalian membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan baik, hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim hadits no. 3615)

Zuhud yang Bid’ah dan Menyelisihi Syari’at

Zuhud yang menyelisihi Sunnah tidak ada kebaikan sama sekali di dalamnya. Karena ia menganiaya hati dan membutakannya, membuat agama menjadi buruk dan hilang nilai-nilai kebaikannya yang diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, menjauhkan manusia dari agama Allah, menghancurkan peradaban, dan memberi kesempatan bagi musuh-musuh Islam untuk menguasai mereka; merendahkan kemuliaan seseorang serta menjadikan seorang hamba menyembah kepada selain Allah. Berikut ini beberapa perkataan para penyeru zuhud yang menyelisihi petunjuk Nabi.

Perkataan Junaid, salah seorang penyeru zuhud yang menyelisihi syariat, “Saya senang kalau seorang pemula dalam kezuhudan tidak menyibukkan diri dengan tiga perkara agar tidak berubah keadaannya, yaitu bekerja untuk mendapatkan rezeki, menuntut ilmu hadist, dan menikah. Dan lebih aku senangi jika seorang sufi tidak membaca dan menulis agar niatnya lebih terarah.” (Kitab Quatul-Qulub 3/135, kitab karya Junaid).

Perkataan Abu Sulaiman ad-Darani, “Jika seseorang telah menuntut ilmu, pergi mencari rezeki atau menikah, maka dia telah bersandar kepada dunia.” (Kitab Al-Futuhat Al-Makiyah, 1/37).

Padahal telah dimaklumi bahwa semua peradaban di dunia ini tidak mungkin tegak dan berkembang kecuali dengan tiga perkara, yaitu dengan bekerja, mencari ilmu, dan menikah demi meneruskan keturunan manusia. Rasulullah sendiri telah memerintahkan kita bekerja mencari rezeki sebagaimana dalam sabda beliau,

“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya nabi Allah, Dawud, makan dari hasil kerja tangannya.” (HR. Bukhari, III/8 hadits no. 1930)

Dan Rasulullah telah memerintahkan umatnya untuk menikah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan (lahir dan batin) untuk menikah, maka hendaklah dia menikah. Sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Sedangkan untuk yang tidak mampu, hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat menjaganya (yaitu benteng nafsu).” (HR. Bukhari, VI/117)

Beliau juga memerintahkan kaum muslimin menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun dunia, sebagaimana sabdanya,

“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (Ibnu Majah hadits no. 220. Hadist Sahih, lihat Kitab Al-Jami’ As-Shahih no. 3808 karya Al-Bani)

Wajib di sini adalah dalam menuntut ilmu agama. Adapun ilmu duniawi, tidak ada seorang pun yang berselisih tentang pentingnya ilmu tersebut, baik berupa ilmu kesehatan, ilmu perencanaan maupun ilmu lainnya yang manusia tidak mungkin terlepas darinya. Terpuruknya kaum muslimin ke dalam jurang kehinaan dan kemunduran pada masa sekarang ini tidak lain akibat kelalaian mereka dalam menuntut ilmu agama yang benar, merasa cukup dengan ilmu duniawi yang mereka ambil dari musuh-musuh mereka dalam berbagai macam aspek kehidupan, baik yang besar maupun yang kecil, banyak maupun sedikit, yang semuanya berujung kepada kebinasaan, hilangnya agama, akhlak, dan hal-hal utama lainnya.

Khatimah

Sebagai penutup tulisan ini, marilah kita lihat bagaimana kehidupan generasi pertama dan terbaik dari umat ini, generasi sahabat yang hidup di bawah naungan wahyu Ilahi dan didikan Nabi. Salah seorang tokoh generasi tabi’in, Imam al-Hasan al-Bashri berkata, “Aku telah menjumpai suatu kaum dan berteman dengan mereka. Tidaklah mereka itu merasa gembira karena sesuatu yang mereka dapatkan dari perkara dunia, juga tidak bersedih dengan hilangnya sesuatu itu. Dunia di mata mereka lebih hina daripada tanah. Salah seorang di antara mereka hidup satu atau dua tahun dengan baju yang tidak pernah terlipat, tidak pernah meletakkan panci di atas perapian, tidak pernah meletakkan sesuatu antara badan mereka dengan tanah (beralas) dan tidak pernah memerintahkan orang lain membuatkan makanan untuk mereka. Bila malam tiba, mereka berdiri di atas kaki mereka, meletakkan wajah-wajah mereka dalam sujud dengan air mata bercucuran di pipi-pipi mereka dan bermunajat kepada Allah agar melepaskan diri mereka dari perbudakan dunia. Ketika beramal kebaikan, mereka bersungguh-sungguh dengan memohon kepada Allah untuk menerimanya. Apabila berbuat keburukan, mereka bersedih dan bersegera meminta ampunan kepada Allah. Mereka senantiasa dalam keadaan demikian. Demi Allah, tidaklah mereka itu selamat dari dosa kecuali dengan ampunan Allah. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada mereka.” Wallahu A’lam.

Referensi:

  1. Qawaid wa Fawaid min Al-Arbaina An-Nawawiyah, karya Nazim Mohammad Sulthan ; cet. Ke-2. 1410; Dar-Alhijrah, Riyadh, KSA.
  2. Makarimul-Akhlaq, karya Syakhul-Islam Ibn Taimiyah ; cet. Ke-1. 1313 ; Dar- alkhair, Bairut, Libanon.
  3. Tazkiyatun-Nufus, karya Doktor Ahmad Farid ; Dar- Alqalam, Bairut, Libanon.
  4. Mukhtashar Minhajul-Qashidin, karya Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Maktabah Dar Al-Bayan, Damsiq, Suria.

Jumat, 30 Oktober 2009

Mencintai Yang Semestinya Dicintai

Penulis: Makky Lazuardi

Kehadiran sesuatu hal dalam diri kita kadang membawa sebuah kedekatan hati pada hal itu. Namun manusia banyak yang terjebak dengan apa yang mengalir di depan matanya, di hatinya, dan di otaknya. Padahal hati diciptakan sebagai tempat bermunajat pada Allah, bukan tempat persinggahan warna-warni dunia. Karena mencintai sesuatu yang bukan tempatnya, bukanlah cinta yang diridloi-Nya. Rasulullah SAW bersabda, "Cinta dunia adalah biang segala kesalahan "(HR. Thabrani)

Makna eksplisit dari redaksi hadits di atas menjelaskan bahwa semua kesalahan anak manusia bermuara dari cinta dunia yang bersemayam dalam hati. Sebab, bila diteliti ternyata perasaan cinta itu adalah motivator utama bagi seseorang untuk berbuat maksiat. Begitupula sebaliknya, cinta kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya adalah bahan bakar untuk berbuat ketaatan, berangkat dari klasifikasi iman menjadi dua, aqli (rasional) dan athifi (emosional).

Hal ini diaktensi (dibahas) oleh hadits lain yang artinya "Cintamu terhadap sesuatu itu selalu membutakan dan membuatmu tuli". (HR. Abu Daud). Maka satu-satunya kiat untuk menghindari kesalahan adalah benci terhadap dunia, seperti dijelaskan oleh hadits di atas melewati arti implisitnya. Benci disini berarti menghapus rasa ketergantungan hati, sebagaimana cinta - merupakan antonimnya - yang berarti kecenderungan kalbu terhadap sesuatu. Ketergantungan akan dunia kiranya dapat terkelupas dari batin seseorang bila ia selalu meyakinkan dirinya tentang umur dunia yang temporal(sementara) ini dan mengingat realita kematian, serta senantiasa menganggap dirinya berada dalam kembara hidup yang tak ubahnya suatu perjalanan singkat menuju akhirat. "Anggaplah dirimu di dunia seperti orang asing atau orang yang meniti suatu jalan"m begitu sabda Rasulullah SAW.

Agaknya tamsil (permisalan) orang asing (gharib) yang dibawa oleh beliau sangatlah tepat untuk dijadikan bahan renungan, klop dengan kondisi kita sekarang ini yang jauh dari kampung halaman. Maka marilah kita posisikan negeri asing tempat kita berdomisili ini sebagai dunia, dan kampung halaman yang jauh dari mata adalah akhirat, lalu mulailah sejenak kita renungkan. Mungkin terbesit di hati sebagian bahwa konsep benci terhadap dunia di atas, tidak logis sekaligus tidak manusiawi, dengan alasan bahwa eksistensi (keberadaan) manusia itu sendiri di dunia ini adalah untuk berkarya, maka bagaimana bisa sinkron (nyambung) dengan perasaan benci terhadap dunia yang notabene adalah lokasi atau lahan untuk berkarya.

Namun ilusi tersebut--bila kita mau bijaksana--muncul ke permukaan pikiran sebab kesalahan interpretasi (cara memaknai) terhadap makna benci itu sendiri. Perlu dipahami, benci dunia bukan berarti melepaskan diri dari realita hidup di dalamnya, tapi berarti mencerabut ketergantungan hati darinya. Demikian pula dengan terminologi (pengertian) Zuhud yang dikenalkan oleh Nabi SAW dalam salah satu sabdanya kepada Ibnu Abbas ra.--menurut para ulama--bukan bermakna kosongnya tangan dari dunia, namun maknanya adalah kosongnya hati darinya (khuluw al-qolbi min ad-dunya la khuluw al-yadi).

Ada sebuah hikayat. Di sebuah desa, tersebutlah seorang kyai yang hidup sangat miskin. Sehingga disebutkan bahwa hartanya hanya setengah batok kelapa. Sarana satu-satunya untuk makan, minum dan kebutuhan lainnya. Alhasil, ia adalah profil kiai yang anti dunia. Suatu hari, muridnya sowan (bertandang--Jawa-red.) kepadanya untuk pergi ke suatu tempat. Si kiai lalu berpesan kepadanya agar sesampainya ia di tujuan agar menemui gurunya yang kebetulan tinggal di sana, sekaligus meminta pesan nasihat dari mahaguru tadi spesial untuk si Kiai.

Berbekal alamat dari sang kiai, sang murid kemudian sampai ke kediaman mahaguru. Namun seribu tanda tanya membuat hatinya begitu masygul ketika ia lihat ternyata kediaman mahaguru itu adalah rumah megah, lengkap dengan asesoris yang serba "wah", ditambah dengan beberapa pelayan dengan berbagai profesi. Pemandangan yang membingungkan tidak membuat ia mundur untuk menyampaikan salam kiai batok berikut permintaan nasehat. Dengan penuh was-was ia utarakan maksud kedatangannya setelah sedikit basa-basi tentunya. Mahaguru itu lalu berpesan kepada murid itu guna menyampaikannya kepada Kiai batok agar menjauhi dunia. Sontak saja sang murid seperti ditampar sandal, hatinya bergumam, bagaimana mahaguru itu menganjurkan sang kiai yang super sederhana untuk menjauhi dunia padahal ia sendiri berlimpahan harta.

Saat ia kembali ke desanya, ia langsung menemui si Kiai dan menyampaikan pesan dari mahaguru untuknya, meski dengan perasaan tak karuan. Tapi si Kiai setelah mendengar pesan itu menangis tersedu-sedu. Lalu ia memikir teka-teki yang berada di benak muridnya, seraya berkata: "Tahukah engkau tentang guruku yang telah kau temui kemarin, walaupun ia berlimpahan dunia tapi hatinya sama sekali tidak memikirkannya, lain halnya dengan diriku yang ternyata masih selalu memikirkan batok kelapa ini".

Sebagian menyebutkan bahwa mahaguru di atas adalah Imam Abul Hasan as-Syadzili. Ada baiknya jika renungan singkat ini, di tutup dengan profil salah satu sahabat sekaligus Ahlu Bait Nabi SAW yang bernama Ali Bin Abi Tholib Karrama Allahu Wajhahu.

Suatu hari sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan RA. berkata kepada Dhiror bin Dhomroh, "Ceritakan kepadaku tentang karakter Ali". "Mohon, jangan kau memaksaku," jawab Dhiror. "Ceritakan!" tegas Muawiyah lagi. "Mohon jangan kau memaksaku," jawabnya untuk kedua kali. "Bagaimanapun kau harus ceritakan!". Lalu Dhiror berkata, "Bila memang harus aku ceritakan, maka--demi Allah--ia adalah pribadi bersahaja, sangat kuat, berkata benar, dan berlaku adil. Ilmu pengetahuan mengalir deras darinya. Benci terhadap kelap-kelip dunia, dan senang dengan suasana gelapnya malam. Ia--demi Allah--sering menangis, dan merenung, membalik telapak tangannya dan berbicara kepada dirinya sendiri. Ia senang dengan baju yang kasar, dan makanan yang sederhana. Demi Allah, Ia selalu menjawab pertanyaan kami, mengajak kami berbicara sebelum kami mulai, dan selalu datang bila kami undang. Sementara kami--demi Allah-- meski ia akrab, selalu menaruh segan kepadanya, kami tidak pernah mendahuluinya bicara. Saat ia tersenyum tak ubahnya seperti mutiara yang tersusun. Ia menghormati pakar agama, dan mencintai orang-orang miskin. Orang dzolim akan tunduk, dan orang lemah akan merasakan keadilannya. Aku bersaksi dengan nama Allah! Aku pernah melihatnya suatu saat, ketika malam menurunkan tabirnya, dan bintang-bintang mulai tertelan pekat, ia berdiri di mihrabnya sambil memegang jenggotnya, terlihat gelisah seperti orang sakit, dan menangis sedih. Aku mendengarnya berkata, "Hei Dunia, apakah engkau menuju kepadaku dan mengawasiku, menjauhlah, menjauhlah! Tipu selain aku, sebab aku sudah menceraimu tiga kali tanpa rujuk! Usiamu sebentar, kehidupanmu remeh, namun bahayamu besar! Oh, bekalku yang sedikit, padahal perjalanan yang penuh aral masih teramat jauh".

Setelah mendengarnya Muawiyah menangis tersedu-sedu. Akhirnya, marilah kita memohon kepada Pencipta dunia dan alam semesta, dengan doa yang seringkali tergulir dari lisan orang-orang saleh, "Allahummaja'al ad-dunya fi aydina wala taja'alha fi qulubina". Yang artinya, "Ya Allah jadikanlah dunia di tangan kami tapi jangan Kau menjadikannya dalam hati kami".

Jauhilah Kesenangan Dunia, Niscaya Dicintai Allah

Dari Abul-Abbas Sahl bin Sa’d As-Sa’idi rodhiallohu ‘anhu dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkan aku suatu amal, jika aku lakukan akau akan dicintai Alloh dan dicintai oleh manusia. “Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya dicintai Alloh dan zuhud lah terhadap apa yang dimiliki orang lain, niscaya mereka akan mencintaimu” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan imam yang lainnya dengan sanad yang shahih)

Zuhud
Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Maka zuhud terhadap dunia maksudnya apabila berbuat bukan demi mendapatkan nilai duniawi tetapi semata-mata lillah, maka sama saja baginya mendapat pujian atau mendapat celaan manusia. Zuhud terhadap milik manusia maksudnya tidak ada dalam hatinya keinginan dan perhatian terhadap sesuatu yang menjadi milik orang lain. Barang siapa yang bisa merealisasikan dalam dirinya zuhud dengan pengertian di atas maka dia akan meraih cinta Alloh dan cinta manusia.

Kedudukan Hadits
Hadits ini sangat penting karena berisi landasan untuk mendapatkan cinta Alloh dan cinta manusia.
Cinta Alloh Dan Cinta Manusia
Cinta Alloh dapat diraih dengan menunaikan hak-hakNya dan demikian juga cinta manusia dapat diraih dengan menunaikan hak-haknya dan memperlakukan mereka secara adil dan baik. Mendapat cinta Alloh adalah tujuan utama seorang hamba dalam hidupnya, maka wajib bagi seorang hamba untuk mengetahui hal-hal yang mendatangkan kecintaan Alloh.

Hadis ini memberitahukan bahwa Allah SWT mencintai orang orang yang zuhud terhadap dunia. Mereka berkata:”Jika kecintaan terhadap Allah adalah tingkatan keimanan yang paling mulia, maka zuhud terhadap dunia adalah keadaan keimanan yang paling mulia pula.”
Ketahuilah bahwa zuhud di dunia merupakan salah satu kedudukan yang mulia bagi orang orang yang meniti jalan Alloh. Zuhud merupakan ungkapan tentang pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik lagi. Apa yang dialihkan itu disyaratkan merupakan sesuatu yang di senangi seberapa pun porsinya. Siapa yang mengalihkan sesuatu yang tidak di senanginya dan dia tidak menuntutnya, maka ia tidak disebut orang yang zuhud.
Istilah orang yang zuhud dikhususkan bagi orang orang yang meninggalkan keduniaan. Siapa yang zuhud dalam segala sesuatu selain Alloh SWT, maka dia adalah orang yang sempurna dalam zuhudnya.Siapa yang zuhud di dunia dan mengharapkan surga dan kenikmatannya maka dia juga disebut orang yang zuhud.
Adapun pengertian zuhud adalah berpalingnya keinginan terhadap sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Ilmu yang akan menghantarkan manusia ke gerbang zuhud adalah ilmu tentang betapa hinanya sesuatu yang ditinggalkan jika dibandingkan dengan sesuatu yang di ambil.
Siapapun yang mengerti, (seperti mengertinya ia bahwa batu permata itu lebih mulia dari pada sebongkah batu es), bahwa apa yang disisi Alloh SWT itu lebih kekal dan akhirat itu lebih baik dan abadi, maka ialah orang yang zuhud.
Ketahuilah bahwa zuhud bukan hanya meninggalkan harta, menghinakannya sebagai sesuatu yang di hamparkan dan bisa di jadikan kekuatan serta sesuatu yang melemahkan hati, tetapi zuhud ialah meninggalkan keduniaan ,karena tahu kehinaannya jika dibandingkan denngan ketinggian nilai akhirat. Siapa yang menyadari bahwa dunia ini laksana es yang mencair ketika diletakkan di bawah terik matahari, ia akan terus meleleh sampai akhirnya hilang, dan akhirat itu laksana batu permata yang tidak akan hilang di telan masa.
Fudhail bin ’iyadl berkata;”Pondasi zuhud adalah ridha terhadap segala sesuatu yang datang dari Alloh SWT”. Beliau juga berkata;”Orang yang selalu qona’ah adalah orang yang zuhud dan dialah orang yang pada hakikatnya kaya. Barang siapa memiliki sifat ”yakin” dan ”percaya” kepada Alloh SWT,maka ia akan tenang menyerahkan segala urusan kepada Alloh SWT, dan ridho kepada segala keputusanNya, ia juga akan memutuskan roja’ dan khouf kepada makhluk serta meninggalkan usaha mencari kekayaan dunia dengan cara-cara yang di benci. Maka, barang siapa yang demikian keadaannya maka dia adalah seorang yang benar-benar zuhud dan orang terkaya walaupun ia tidak memiliki sedikit pun harta dunia. Seperti yang di ungkapkan sahabat ‘Ammar;”Cukuplah kematian itu menjadi peringatan, cukuplah keyakinan yang kuat itu menjadi kekayaan, dan cukuplah ibadah itu menjadi kesibukan.”

Alloh SWT memuji orang yang zuhud terhadap dunia dan mencela mereka yang mencintai dunia.
Artinya: ”Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (Al ’Ala: 16-17)
dan Firman Alloh
Artinya:”Dan mereka bangga dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia itu dibandingkan dengan akhirat hanyalah kesenangan yang tidak berarti”.(Ar Ra’d :26)
Rosululloh SAW bersabda:

وَاللهِ لِلدُّنْيَاأَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هذَا عَلَيْكُمْ (روه المسلم)

Artinya:“Demi Alloh,dunia ini dihadapan Alloh lebih hina dari pada bangkai ini di hadapan kalian.” (HR.Muslim)

Dan diantara keutamaan zuhud,maka allah berfirman:”Dan janganlah kamu menunjukan kedua matamu kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan golongan dari mereka,sebagai bunga kehidupan dunia untuk kami cobai pada mereka”.(Thoha:131)
Hasan Albasri berkata:”manusia dihimpun pada hari kiamat dalam keadaan telanjang,kecuali orang orang yang zuhud.sesungguhnya ada orang orang yang dihormati diduna lalu mereka disalib di papa kayu,sihingga mereka menjadi hina karenanya maka tenangkanlah hati kalian jika kalian di hinakan hanya karena perkara dunia.
Adapun zuhud memiliki beberapa derajat dan tingkatan .
1.seseorang yang zuhud terhadap dunia tetapi sebenarnya ia menginginkannya.hatinya condong padanya,jiwanya berpaling padanya,namun ia berusaha bermujahada untuk mencegahnya, inilqh seorang yang mutazahhid(orang yang berusaha zuhud).
2.seorang meninggalkan dunia dalam rangka taat kepada allah swt.karena ia melihat sebagain sesuatu yang hina dina,jika dibandingkan dengan apa yang hendak di gapainya.orang ini sadar betul bahwa ia zuhud, kaadaannya seperti orang yang meninggalkan sekeping dirhan untuk mendapatkan dua keping dirham.
3.seorang yang terhadap dunia dengan benar benar zuhud dalam zuhudnya.dia tidak melihat dunia sebagai sesuatu yang tidak berguna seperti orang membuang sampah,lalu mengambila mutiara,dan perumpamaan lainnya,seperti orang ingin memasuki istana raja tetapi dihadang oleh seokor anjing didepan gerbang.lalu ia melemparkan sepotong daging untuk mengelabuhi anjing tadi dan iapun masukmenmui sang raja.
Ada orang yang bernggapan bahwa siapa yang meninggalkan harta adalah orang yang zuhud. Padahal pada hakikatnya tiadak begitu, meninggalkan harta dan menampakkan kemelaratan, telalu mudah dilakukan oleh orang yang ingin dipuji sebagai orang yang zuhud.
Zuhud harus menghindari harta dan kedudukan secara bersama-sama, agar zuhud bisa menjadi sempurna didlam jiwa. Ibnu mubarok berkata : “ zuhud yang paling utama adalah menyembunyikan zuhud. Untuk itu harus diperhatikan tiga perkara di bawah ini :
1. Tidak boleh menampakkan kegembiraan karena yang dia ingini ada, dan tidak boleh menampakkan kesedihan karena yang dia ingini tidak ada. Ini zuhud yang berkaitan dengan harta.
2. Harus menyeimbangkan diri terhadap orang yang memuji dan mencelanya. Ini zuhud yang berkaitan dengan kedudukan.
3. Kebersamaannya hanya dengan Alloh SWT. Biasanya orang tersebut mendapatkan manisnya keimanan didalam hatinya karena ketaatannya kepada Alloh SWT.

Adapun orang yang cinta kepada dunia dan cinta kepada Alloh SWT yang bersemayam didalam hatinya, maka ini ibarat air dan udara didalam kuali, jika air dimasukkan kedalamnya, maka udaranya akan kelua. Karena keduanya tidak akan pernah bisa berkumpul.
Banyak diantara para sahabat, Tabi’in, Tabiut Tabi’in serta orang-orang sholeh yang sangat dicinyai baik itu oleh Rosululloh SAW, serta para orang-orang yang ad adi dekatnya. Diantaranya dari golongan Tabi’in, belau adalah Umar bin Abdul Aziz seorang pemimpin yang sangat zuhud. Dunia berlimpah datang kepadanya tetapi ia meninggalkanny. Jadi wajar saja beliau sangat dicintai oleh rakyatnya, sampai-sampai, pada masa beliau tiada seorangpun diantara rakyatnya yang kekurangan akan harta, semuanya merasa sangat tercukupi. Sampai akhir hayatnya beliau tidak mewariskan harta yang banyak kepada anak-anaknya. Dan anaknyapun tidak merasa sedih, bahkan mersa bangga akan kebijaksanaannya kepada rakyat maupun kezuhudannya terhadap dunia.
Sedangkan kita, sudahkah kita zuhud akan DUNIA……………???????????????? Dan relakah kita meninggalkan dunia yang fana ini dalam rangka beribadah kepada Alloh SWT…….??????serta agar dicintai oleh-Nya karena kezuhudan yang tertancap di dalam hati kita…..????

Oleh : Hadidi El Muhajid

Referensi
1. tazkiyatun Nafs ( Ibnu AL Jauziyyah, Imam Ghozali, Ibnu Rojab )
2. minhajul Qosidin ( Ibnu Qudamah )
3. Al Atqiaul Akhfiyaa ( Said Abdul Adzhim )
4. Washoya Rosululloh LirRijal ( M. Khalil Itani )
5. Mahligai Taqwa ( Ibnu Rajab )
6. Kitab ARRiqqohb ( Ibnu Qudamah )

Zuhud dan Tamak

1. Seorang sahabat datang kepada Nabi Saw dan bertanya, "Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang bila aku amalkan niscaya aku akan dicintai Allah dan manusia." Rasulullah Saw menjawab, "Hiduplah di dunia dengan berzuhud (bersahaja) maka kamu akan dicintai Allah, dan jangan tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya kamu akan disenangi manusia." (HR. Ibnu Majah).

2. Telah sukses orang yang beriman dan memperoleh rezeki yang kecil dan hatinya pun akan disenangkan Allah dengan pemberianNya itu. (HR. Muslim)

Penjelasan:
Dia merasa senang dengan rezeki yang diberikan Allah meskipun sedikit.

3. Ya Allah, langsungkan hidupku dalam kemiskinan dan wafatkan aku dalam keadaan miskin, dan bangkitkan pula aku kembali dalam kelompok orang-orang miskin. (HR. Bukhari)

4. Robbku menawarkan kepadaku untuk menjadikan lembah Mekah seluruhnya emas. Aku menjawab, "Jangan ya Allah, aku ingin satu hari kenyang dan satu hari lapar. Apabila aku lapar aku akan memohon dan ingat kepada-Mu dan bila kenyang aku akan bertahmid dan bersyukur kepada-Mu." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

5. Cukup bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya. (HR. Ath-Thabrani)

6. Barangsiapa ridho dengan rezeki yang sedikit dari Allah maka Allah akan ridho dengan amal yang sedikit dari dia, dan menanti-nanti (mengharap-harap) kelapangan adalah suatu ibadah. (HR. Bukhari)

7. Kepuasan (rela dengan bagiannya) adalah pusaka yang tidak bisa hilang. (HR. Al-Baihaqi)

8. Barangsiapa zuhud di dunia maka ringan baginya segala musibah. (HR. Asysyihaab)

9. Dua orang pelahap yang tidak pernah kenyang yaitu penuntut ilmu dan penuntut dunia. (HR. Al Bazzaar)

10. Ketamakan menghilangkan kebijaksanaan dari hati para ulama. (HR. Ath-Thabrani)

11. Kekayaan bukan banyaknya harta-benda yang dimiliki tetapi kekayaan jiwa. (HR. Bukhari)

Kitab Zuhud Dan Kelembutan Hati

· Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Rasulullah bersabda: Tiga perkara yang akan mengiringi mayit, yang dua akan kembali dan yang satu akan menetap. Ia akan diiringi oleh keluarganya, hartanya dan amal perbuatannya. Keluarga dan hartanya akan kembali dan tinggallah amal perbuatannya. (Shahih Muslim No.5260)

· Hadis riwayat Amru bin Auf ra., ia berkata:
Bahwa Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Jarrah ke Bahrain untuk memungut jizyahnya (upeti), karena Rasulullah telah mengadakan perjanjian damai dengan penduduk Bahrain dan mengangkat Alaa' bin Hadhrami sebagai gubernurnya. Kemudian Abu Ubaidah kembali dengan membawa harta dari Bahrain. Orang-orang Ansar mendengar kedatangan Abu Ubaidah lalu melaksanakan salat Subuh bersama Rasulullah. Setelah salat, beliau beranjak lalu mereka menghalanginya. Ketika melihat mereka beliau tersenyum dan bersabda: Aku tahu kalian telah mendengar bahwa Abu Ubaidah telah tiba dari Bahrain dengan membawa harta upeti. Mereka berkata: Benar, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Bergembiralah dan berharaplah agar mendapatkan sesuatu yang menyenangkan kamu sekalian. Demi Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan terhadap kalian, tetapi yang aku khawatirkan adalah jika kekayaan dunia dilimpahkan kepada kalian sebagaimana telah dilimpahkan kepada orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba dan akhirnya dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka. (Shahih Muslim No.5261)

· Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Bahwa Rasulullah bersabda: Ketika seorang dari kalian memandang orang yang melebihi dirinya dalam harta dan anak, maka hendaklah ia juga memandang orang yang lebih rendah darinya, yaitu dari apa yang telah dilebihkan kepadanya. (Shahih Muslim No.5263)

· Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Bahwa ia mendengar Nabi bersabda: Sungguhnya ada tiga orang Bani Israel, seorang berkulit belang, seorang berkepala botak dan yang lain matanya buta. Allah ingin menguji mereka, maka Dia mengirim malaikat. Malaikat ini mendatangi orang yang berkulit belang dan bertanya: Apa yang paling kamu sukai? Orang itu menjawab: Warna (kulit) yang bagus, kulit yang indah dan sembuhnya penyakit yang membuat orang jijik kepadaku. Malaikat tersebut mengusap tubuhnya, maka penyakitnya sembuh dan ia diberi warna yang bagus dan kulit yang indah. Malaikat bertanya lagi: Harta apa yang paling kamu senangi? Orang itu menjawab: Unta. Atau: Ia menjawab: Sapi. (Ishak ragu-ragu tentang itu). Lalu ia diberi unta yang hampir melahirkan lalu malaikat berkata: Semoga Allah memberkahinya untukmu. Kemudian ia mendatangi orang yang botak lalu bertanya: Apa yang paling kamu sukai? Orang itu berkata: Rambut yang indah dan sembuhnya penyakit yang membuat orang jijik kepadaku. Malaikat mengusapnya, maka penyakitnya sembuh dan ia diberi rambut yang indah. Malaikat bertanya lagi: Harta apa yang paling kamu senangi? ia menjawab: Sapi. Maka ia diberi sapi bunting lalu malaikat berkata: Semoga Allah memberkahinya untukmu. Kemudian malaikat mendatangi yang buta, lalu bertanya: Apa yang paling kamu sukai? Ia menjawab: Allah mengembalikan penglihatanku, sehingga aku dapat melihat manusia. Maka Malaikat mengusapnya, sehingga penglihatannya kembali normal. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apa yang paling kamu sukai? Ia menjawab: Kambing. Maka ia diberi kambing yang beranak. Selanjutnya semua binatang yang diberikan itu beranak-pinak sehingga orang yang berpenyakit belang dapat mempunyai unta satu lembah, yang botak mempunyai sapi satu lembah dan yang asalnya buta memiliki kambing satu lembah. Pada suatu ketika malaikat kembali mendatangi orang yang berpenyakit belang dalam bentuk dan cara seperti ia dahulu lalu berkata: Aku orang miskin yang telah terputus seluruh sumber rezeki dalam perjalananku, maka pada hari ini tidak ada lagi pengharapan, kecuali kepada Allah dan kamu. Demi Tuhan yang telah menganugerahimu warna yang bagus, kulit yang indah serta harta benda, aku minta seekor unta untuk membantuku dalam perjalanan. Orang itu berkata: Masih banyak sekali hak-hak yang harus kupenuhi. Maka malaikat itu berkata kepadanya: Aku seperti mengenal kamu, bukankah kamu yang dahulu berpenyakit kulit belang yang manusia jijik kepadamu, serta yang dahulu fakir lalu diberi harta oleh Allah? Orang itu berkata: Aku mewarisi harta ini secara turun-temurun. Malaikat berkata: Kalau kamu berdusta, semoga Allah menjadikan kamu seperti dahulu lagi. Setelah itu malaikat tadi mendatangi orang yang dahulu botak dalam bentuknya seperti dahulu lalu berkata kepadanya seperti apa yang dikatakannya kepada orang yang berkulit belang, dan orang itu menjawabnya seperti jawaban orang yang belang tadi. Maka malaikat berkata: Jika kamu berdusta, semoga Allah menjadikan kamu seperti dahulu lagi. Kemudian sesudah itu malaikat mendatangi orang yang dahulu buta dalam bentuk dan cara seperti dahulu lalu berkata: Aku orang miskin yang mengembara dan telah terputus seluruh sumber rezeki dalam perjalananku, maka pada hari ini tidak ada lagi pengharapan, kecuali kepada Allah dan kamu. Demi Tuhan yang telah memulihkan penglihatanmu, aku minta seekot kambing untuk membantuku dalam perjalanan. Orang itu berkata: Dahulu aku buta, lalu Allah memulihkan penglihatanku, maka ambillah apa yang kamu inginkan dan tinggalkanlah apa yang tidak kamu inginkan. Demi Allah aku tidak akan membebani kamu untuk mengembalikan sesuatu yang telah kamu ambil untuk Allah. Maka malaikat berkata: Peganglah hartamu itu semua, karena kamu sekalian hanya sekedar diuji, kamu telah diridai Tuhan, sedangkan kedua sahabatmu telah dimurkai Allah. (Shahih Muslim No.5265)

· Hadis riwayat Saad bin Abu Waqqash ra., ia berkata:
Demi Allah, aku adalah orang Arab pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah. Kami pernah berperang bersama Rasulullah dan tidak ada makanan yang dapat kami makan selain daun hublah dan daun samur (dua macam tanaman padang pasir), sehingga kotoran kami seperti kotoran kambing. Kemudian keesokan harinya Bani Asad mengajariku pengetahuan agama. Kalau demikian, sungguh aku telah gagal dan usahaku sia-sia. Dan Ibnu Numair tidak mengatakan: Kalau demikian. (Shahih Muslim No.5267)

· Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
Sejak berpindah ke Madinah, keluarga Muhammad tidak pernah merasa kenyang karena makan gandum selama tiga malam berturut-turut sampai beliau wafat. (Shahih Muslim No.5274)

· Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
Kami, keluarga Muhammad sering hidup selama satu bulan tidak menyalakan api (memasak), karena makananannya hanya kurma dan air. (Shahih Muslim No.5280)

· Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
Ketika Rasulullah wafat, di lemariku tidak ada sesuatu yang dapat dimakan manusia, kecuali setengah roti gandum yang berada dalam sebuah lemari milikku lalu aku memakan sebagian untuk beberapa lama, kemudian aku timbang ternyata telah habis. (Shahih Muslim No.5281)

· Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
Rasulullah wafat ketika orang-orang sudah kenyang memakan kurma dan air. (Shahih Muslim No.5284)

· Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Dalam riwayat Ibnu Abbad: Demi Tuhan yang jiwa Abu Hurairah berada dalam genggaman-Nya, belum pernah Rasulullah membuat keluarganya kenyang selama tiga hari berturut-turut dengan roti gandum sampai beliau wafat. (Shahih Muslim No.5286)

1. Janganlah memasuki daerah kaum yang menganiaya diri mereka sendiri, kecuali dengan menangis

· Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda kepada Ashabul Hijr: Janganlah kamu sekalian memasuki daerah kaum yang telah disiksa, kecuali jika kamu sekalian menangis. Kalau kamu tidak menangis, janganlah memasuki daerah mereka agar kalian tidak tertimpa apa yang menimpa mereka. (Shahih Muslim No.5292)

2. Berbuat baik kepada janda, orang miskin dan anak yatim

· Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Dari Nabi saw. beliau bersabda: Orang yang membiayai para janda dan orang miskin itu bagaikan seorang pejuang di jalan Allah. Aku mengira beliau menambahkan: Dan bagaikan orang yang selalu menjalankan salat malam tanpa henti atau bagaikan orang yang selalu berpuasa tanpa berbuka. (Shahih Muslim No.5295)

3. Orang yang menyekutukan Allah dalam amalnya (riya)

· Hadis riwayat Jundub Al-Alaqiy ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa mencari popularitas dengan amal perbuatannya, maka Allah akan menyiarkan aibnya dan barang siapa yang riya dengan amalnya, maka Allah akan menampakkan riyanya. (Shahih Muslim No.5302)

4. Berucap satu kata buruk akan jatuh ke dalam neraka

· Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sungguh ada seorang hamba yang mengucapkan satu kata (buruk) sehingga ia terjerumus ke dalam neraka lebih dalam dari jarak antara timur dan barat. (Shahih Muslim No.5303)

5. Siksaan orang yang memerintahkan kebaikan, tetapi ia tidak mengerjakannya dan melarang berbuat kemungkaran, tetapi ia mengerjakannya

· Hadis riwayat Usamah bin Zaid ra., ia berkata:
Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Pada hari kiamat nanti seorang lelaki dilemparkan ke dalam neraka, lalu seluruh isi perutnya keluar, kemudian ia berputar membawa isi perutnya itu seperti seekor keledai memutari penggilingan. Lalu penghuni neraka mengerumuninya dan bertanya: Hai Fulan, kanapa kamu disiksa seperti ini, bukankah kamu menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran? Ia jawab: Benar, aku dahulu menyeru kepada kebaikan, tetapi aku tidak melakukannya dan mencegah kemungkaran namun aku tetap menjalankannya. (Shahih Muslim No.5305)

6. Larangan membuka aib sendiri

· Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Semua umatku akan ditutupi segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah bila seorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya, lalu dia berkata (kepada temannya): Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat ini dan itu. Allah telah menutupi dosanya ketika di malam hari sehingga ia bermalam dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari ia sendiri menyingkap tirai penutup Allah dari dirinya. (Shahih Muslim No.5306)

7. Mendoakan orang yang bersin dan makruh menguap

· Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Dua orang bersin di dekat Rasulullah saw., beliau mendoakan salah seorangnya dan membiarkan yang lain. Orang yang tidak didoakan itu berkata: Si Fulan bersin kemudian engkau mendoakannya, tetapi aku bersin, engkau tidak mendoakanku. Beliau bersabda: Orang ini memuji Allah tetapi kamu tidak memuji Allah. (Shahih Muslim No.5307)

· Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Menguap itu termasuk dari (gangguan) setan, maka jika seorang dari kamu menguap, hendaklah ia menahan semampunya. (Shahih Muslim No.5310)

8. Tentang tikus jelmaan

· Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Satu kaum dari Bani Israel telah hilang-lenyap tanpa diketahui sebab apa yang telah dikerjakan dan tidak terlihat, kecuali (dalam bentuk) tikus. Tidakkah kamu lihat, jika (tikus tiu) diberi susu unta, ia tidak meminumnya, tetapi jika diberi susu kambing ia meminumnya. (Shahih Muslim No.5315)

9. Orang mukmin tidak boleh dua kali jatuh dalam lubang yang sama

· Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Dari Nabi saw., beliau bersabda: Seorang mukmin tidak boleh dua kali jatuh dalam lubang yang sama. (Shahih Muslim No.5317)

10. Larangan memuji secara berlebihan dan dikhawatirkan dapat menimbulkanakibat buruk bagi yang dipuji

· Hadis riwayat Abu Bakrah ra., ia berkata:
Seorang lelaki memuji orang lain di hadapan Nabi saw. maka beliau bersabda: Celaka kamu! Kamu telah memenggal leher temanmu, kamu telah memenggal leher temanmu! Beliau mengucapkannya berulang-ulang. Apabila seorang di antara kamu terpaksa harus memuji temannya, hendaklah ia berkata: Aku mengetahui kebaikan si Fulan namun Allah lebih mengetahui keadaannya, dan aku tidak memberikan kesaksian kepada siapa pun yang aku ketahui di hadapan Allah karena Allah lebih mengetahui keadaannya yang sebenarnya. (Shahih Muslim No.5319)

· Hadis riwayat Abu Musa ra., ia berkata:
Nabi saw. mendengar seorang memuji orang lain secara berlebih-lebihan, maka beliau bersabda: Sungguh kamu telah membinasakannya atau telah memotong punggung orang itu. (Shahih Muslim No.5321)

11. Tentang sikap berhati-hati dalam menerima hadis dan hukum mencatat ilmu

· Hadis riwayat Aisyah ra.:
Dari Urwah ia berkata: Abu Hurairah ra. pernah meriwayatkan suatu hadis dengan berkata: Wahai pemilik kamar, dengarkanlah! Wahai pemilik kamar, dengarkanlah! Ketika itu Aisyah sedang salat lalu setelah menyelesaikan salatnya, ia berkata kepada Urwah: Apakah kamu tidak mendengar ucapan orang ini tadi? Karena sesungguhnya Nabi saw. jika mengucapkan suatu hadis, jika ada yang menghitungnya, maka ia pasti dapat menghitungnya. (Shahih Muslim No.5325)